Perahu Kertas yang Tak Tahu ke Mana Harus Pulang

IMG-20150308-WA0034_1_wm

Sepasang mataku terpaku pada layar ponsel berukuran empat inci yang menampilkan gambar sebuah stoples bening terguling di tepi perairan. Perahu kertas berwarna biru tersimpan di dalamnya, seolah menatap sendu pada perahu kertas lainnya yang mengapung di atas air. Perahu kertas itu berukuran lebih kecil daripada perahu di dalam stoples, namun warnanya sama.

            “Lihat… yang ini….” Alan menyentuh layar ponsel touch screen di hadapannya. “Ini bukan sekadar gambar, tapi juga cerita.”

            Hujan di luar masih enggan beranjak. Rinainya berkecipak menimbulkan tempias yang mencipta embun pada jendela kaca di sampingku. Aku terdiam menatap gambar lain yang ditunjukkan Alan. Membiarkannya bercerita lewat hasil fotografinya.

            “Kamu… tahu, perahu kertas ini melambangkan seorang anak yang merantau, lepas dari orang tuanya yang ada di stoples tadi,” lanjut Alan sebelum menyeruput cokelat panas yang baru saja ia pesan.

            “Apa perahu kertas itu juga rindu pulang, Lan?” tanyaku lirih, bernada retoris.

            Alan hanya menjawab pertanyaanku dengan senyum, karena memang tak butuh jawaban.

            Ya, aku tahu, setiap yang pergi pasti merindu pulang. Tapi… kadang seseorang tak pulang bukan karena tak tahu jalan atau bagaimana caranya pulang, melainkan… tak tahu ke mana harus pulang.

            Gemuruh hujan masih terdengar ditingkahi suara merdu seorang gadis berambut sebahu yang menyanyikan sebuah lagu. Di sampingnya, seorang lelaki gondrong menggesek biolanya dengan sendu.

            May be surrounded by a million people I’m still feel alone just wanna go home….

***

Saat menatap hamparan sawah di belakang rumah, aku merasa menemukan masa kecilku kembali. Di lajur-lajur pematangnya, seolah kulihat sekelompok bocah berlarian tanpa beban. Tawa riang mereka begitu membahana. Dan, aku ada di antara mereka. Setelah capek berlarian, biasanya kami menghabiskan waktu di sungai kecil yang berfungsi mengairi sawah. Aku selalu membawa selembar kertas yang kusobek dari buku tulisku, kemudian kubentuk sedemikian rupa menjadi perahu kertas. Kubiarkan perahu kertas itu mengikuti aliran sungai menuju parit-parit kecil di sisi pematang. Hingga suatu ketika, Ibu memarahiku karena buku tulisku cepat habis lantaran kusulap menjadi perahu kertas.

            Akhirnya, Ibu mengumpulkan koran bekas bungkus cabe atau bawang, lalu memberikannya kepadaku.

            “Kalau mau buat perahu kertas pakai ini saja, jangan pakai buku tulismu. Buku tulis itu mahal!” omel Ibu. “Ibu susah payah kerja biar kamu bisa sekolah, biar almarhum bapakmu juga bangga kalau kamu bisa bependidikan tinggi.”

            Merasa bersalah, aku hanya membisu sembari menekuri lantai tanah di dapur yang penuh remah-remah sambal pecel yang baru saja dihaluskan oleh Ibu.

            “Sudah, sekarang cepat mandi dan ke mushala.” Nada suara Ibu mulai merendah.

Aku berjalan menuju kamar mandi sambil mencopot kaus kumal yang penuh noda lumpur sawah.

            Semua itu masih sangat lekat di ingatanku, dan selalu kuingat kembali setiap pulang. Memang belum genap setahun aku berpredikat sebagai mahasiswa di sebuah universitas negeri di kota pelajar, namun rasanya sudah sangat lama aku meninggalkan tanah kelahiranku serta semua kenangan masa kecil hingga remaja yang kulalui di sini.

            Selalu dengan berat hati kutinggalkan kampung halaman untuk menimba ilmu di kota pelajar. Apalagi jika teringat Ibu yang sendirian sepeninggal Bapak saat aku masih kelas satu SD dulu. Namun, kutepis semua rasa berat di hati dengan harapan aku pasti kembali. Sebab rumahku di sini. Di sini pula aku akan mengabdikan diri.

            Tapi, siapa sangka bahwa kepulanganku kala itu adalah terakhir kalinya. Ya, terakhir kali aku merasa benar-benar pulang ke rumah, ke kampung halamanku. Sebab setelah itu, aku tak pernah lagi menemukan rumahku beserta seluruh kenangannya.

            Saat itu, bulan Mei baru saja menuntaskan langkahnya di tahun 2006, ketika Ibu meneleponku dengan menahan isak. “Sepertinya kita harus pindah, Nduk….” Suara Ibu lewat sambungan telepon terdengar berat. “Masmu di Jember akan mencarikan tempat jualan pecel di Pasar Tanjung.”

            “Apa tidak ada cara lain untuk bertahan, Bu?” tanyaku harap-harap cemas. “Secepatnya aku akan pulang.”

            “Pilihannya hanya dua…,” Ibu menggantung kalimatnya, mungkin ia sedang mengumpulkan kekuatan untuk menyampaikan berita yang tak nyaman didengar, “pindah atau terkubur di sini.”

            Mendengar ucapan Ibu serasa menelan pil paling pahit secara paksa. Tak pernah sekali pun tebersit dalam benakku untuk kehilangan tanah kelahiranku beserta seluruh kenangannya. Di sanalah rumahku. Di sana pula jasad Bapak terbaring tenang di bawah nisan yang selalu kuziarahi setiap pulang.

            “Nduk…,” Ibu memanggilku yang terdiam beberapa saat, masih dengan suara berat, disusul isak yang tersendat. Dapat kubayangkan wajah yang mulai keriput itu dialiri bening yang tumpah dari telaga matanya.

            “Ya, Bu….” Aku pun menguatkan diri untuk tidak menangis, meski rasanya sangat berat. “Sekar manut sama keputusan Ibu.”Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar. Sisanya tercekat di tenggorokan.

            Sejak saat itu, aku merasa menjadi seseorang yang kehilangan kekasihnya. Patah hati, semacam itulah. Bagaimana tidak? Sejak aku terlahir sebagai bayi merah dari rahim Ibu hingga tumbuh menjadi bocah yang gemar bermain di sawah, lalu beranjak remaja dan dewasa, semua kulalui di kampung itu.

            Kini, tak akan kutemukan lagi hamparan sawah yang menguning siap panen. Tak ada lagi parit-parit kecil tempatku melarung perahu kertas semasa kecil dulu. Mushala tempatku mengeja alif ba ta juga tak mungkin berdiri kembali. Pun, pasar tradisional tempat Ibu berjualan pecel setiap hari. Bahkan, untuk sekadar menabur kembang di atas pusara Bapak, aku tak bisa lagi. Semua telah lenyap. Tak akan kembali. Mimpiku untuk mengabdi di sini telah hanya tinggal mimpi.

            Kabar yang kudengar selanjutnya, mereka akan memberikan ganti rugi kepada warga yang mulai menggelar aksi protes. Tapi, mereka tak akan pernah mampu mengganti kenanganku dengan materi. Semua kenangan di kampung halaman itu adalah metamorfosis dari cinta seorang gadis kepada tanah kelahirannya. Cinta pertama yang kubangun jauh sebelum aku mengerti rasanya jatuh cinta kepada seorang lelaki selain Bapak.

            Dulu, saat baru mengenakan seragam merah putih, aku harus kehilangan Bapak yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Kini, saat beranjak dewasa, aku kembali kehilangan. Bahkan aku merasa kehilangan Bapak untuk kedua kalinya, karena aku tak bisa lagi menziarahi pusaranya.

            “Mulai sekarang, kamu akan pulang ke sini,” kata Ibu setelah kami pindah ke rumah kakakku di Jember.

            Aku mengangguk pelan, meski sejak saat itu aku tak pernah lagi merasa benar-benar pulang. Aku memang masih punya tempat untuk berteduh, tapi jiwaku menggelandang.  Tertinggal di sana, di sebuah kampung yang tinggal nama. Sejak saat itu pula, aku selalu merasa ironis tiap melihat teman-teman kampusku yang jarang pulang meski libur semester cukup panjang. Bahkan saat Lebaran pun, kadang mereka juga tidak pulang, meski jelas-jelas punya rumah di kampung halaman.

            Sementara aku, entah…. Aku… seperti perahu kertas yang dilepas dan tak bisa lagi menemukan kebahagiaan dari sebuah kepulangan. Yang bisa kulakukan hanya mengenang kampung halaman yang tinggal nama, kemudian memantapkan hati untuk mewujudkan janji mengabdi di mana pun tempatnya. Memang aku tak pernah lagi merasakan pulang, tapi aku masih bisa mengabdikan ilmu dan pengalaman.

***

 

I’m coming back home….

Suara merdu gadis ber-dress ungu dengan motif bunga-bunga itu berakhir dengan tepuk tangan para pengunjung kafe. Seperti selesai dihipnotis oleh kenangan tentang kampung halaman, tepukan tangan itu mengembalikanku di sini, bersama Alan yang telah menghabiskan separuh cangkir cokelat panasnya. Sementara, cappuccino dengan latte art bergambar wajah kucing masih tersaji rapi di hadapanku. Tak tersentuh. Nyaris dingin seperti hujan yang kini menyisakan gerimis.

“Kamu kenapa?” tanya Alan usai menyeruput cokelat panas yang kesekian kalinya.

Aku tersenyum sepahit espresso. “Hmm…, aku rindu pulang….”

“Wah, kamu terlalu meresapi lagu itu. Pulang saja weekend ini, sekalian ambil cuti. Jogja-Jember itu jauh lo,” ujarnya ringan, tanpa pernah tahu bahwa sebenarnya aku tak bisa lagi pulang.

Hendak pulang ke mana jika kampung halamanku telah tenggelam? Bahkan genting rumahku tak lagi kelihatan. Kalaupun aku mengunjungi kampung halaman, rumah dan hamparan sawah di belakangnya tak akan pernah kudapati. Memang akan kucium aroma lumpur, tapi bukan lumpur sawah yang dulu kerap mengotori bajuku seperti dulu, melainkan lumpur panas yang terus menyembur dan menenggelamkan kenangan. Entah sampai kapan.

                                                                        Yogyakarta, 10 Maret 2015

PS: Terima kasih untuk seorang teman yang telah berbagi inspirasi lewat karya fotografinya.

Ayun Qee
Follow Me

Comments

  1. kadarwati TA Reply

    dari Sidoarjo ternyata??
    suka kak,, ceritanya mengalir dan enak dibacanya 🙂

    • Qurotul Ayun Reply

      Sidoarjo? Ah, ini hanya fiksi kok. 🙂
      Saya lahir dan besar di Jember.
      Terima kasih udah baca.

      • anjar Reply

        huaaa… ini Ayuun…editornya Diva yes? ^^

  2. Deefi Reply

    ceritanya seperti setengah dari diri saya kak
    nice 🙂

  3. Rian Reply

    saya suka

    • Emilda Reply

      Aku juga dari sidoarjo tapi bukan di lumpur lapindo. Semangat me-nyastra kak

Leave a Reply to kadarwati TA Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!