Perempuan: Cerita dan Lipstik

Penggerak sejarah berpamit sebelum peringatan Hari Ibu, 22 Desember 1983. Ia tak sempat menjadi pengisah bagi kaum perempuan berlatar pembangunan nasional. Sujatin Kartowijono, nama penting di pergerakan perempuan dan pembuatan undang-undang perkawinan. Ia lahir di Wates, Jogjakarta, 9 Mei 1907. Ia bertumbuh di adab Jawa tapi memilih memetik kemodernan di jalan keilmuan dan “politik”. Jawa sedang terang dan bergerak dengan dalil-dalil “kemadjoean”. Sujatin Kartowijono  berada di zaman bertaburan impian dan raihan segala kebaruan demi demokrasi, hak asasi manusia, keluarga, pendidikan, dan nasionalisme.

Di majalah Kartini edisi 19 Desember 1983-1 Januari 1964 dimuat berita duka. Tokoh di Kongres Perempuan I (1928) itu tak lagi bersama geliat kaum perempuan melakukan pemenuhan kewajiban dan hak di Indonesia. Warisan-warisan sudah diberikan meski pesan-pesan besar belum semua terwujud. Redaksi Kartini menulis: “Pergilah, Ibu, jangan khawatirkan kami.” Sujatin Kartowijono memang ibu bagi Indonesia, tercatat di buku sejarah. Di berita duka, ada pemberitahuan ia sedang merampungkan buku berjudul Mencari Makna Hidupku.

Buku diterbitkan oleh Sinar Harapan (1983). Buku berketerangan: “Dikisahkan kembali oleh Hanna Rambe.” Pengisahan kembali atas permintaan Sujatin Kartowijono. Kita mengutip sekalimat dari Sujatin Kartowijono: “Ditulis dengan penuh cinta kasih dan doa, semoga semua kesukaran dan kebahagiaan yang saya lalui atau capai dapat menjadi sumber ilham untuk perbuatan bakti yang lebih baik.” Kalimat ingin berlaku bagi kaum perempuan saat mulai mengerti sejarah dan perkembangan nasib perempuan di Indonesia, setelah melintasi masa-masa genting dan bermimpi demokrasi.

Di sampul buku, foto bunga melati. Foto itu mengingatkan masa bocah sering diajak bapak bepergian ke Magelang. “Di sana terdapat sebuah desa yang tanahnya ditanami melati gambir sampai beberapa hektar luasnya,” Sujatin mengenang. Melati itu memiliki keharuman khas. Hari demi hari, Sujatin di usia remaja sering membawa melati. Pada saat menjadi guru, melati ditaruh di kelas. Ia menikmati wangi sambil mengajar. Kegemaran pada melati terhenti gara-gara perintah Gusti Kanjeng Ratu Maduretno.

Larangan bermula dari cerita: “Pada masa dahulu, ada seorang raja dari keluarga kita. Baginda harus bepergian jauh. Di sebuah perhentian, baginda ingin tidur. Oleh yang menerimanya, sudah disediakan tempat tidur yang pantas untuk raja. Ditaburi bunga melati gambir, dari kasur ke lantai. Raja pun beradu tanpa pernah bangun lagi. Rupanya semua bunga telah dibubuhi racun. Sejak saat itu bunga itu dipantang dalam keluarga kita.” Sujatin menanggapi cerita itu “ada-ada saja.”

Ia memang sudah terlena cerita sejak bocah. Ia terpikat cerita-cerita buatan Karl May. Cerita memicu ingin mengembara ke pelbagai negeri. Ingin itu terpenuhi dengan kunjungan ke Amerika Serikat, Tiongkok, Australia, dan pelbagai negara. Imajinasi menentukan kemauan membentuk biografi di negeri jajahan. Sujatin sedang meramal bakal menjadikan Indonesia memiliki cerita indah, tak bakal terjajah sampai kiamat. Ia pun menginginkan ada pemuliaan bagi kaum perempuan agar tak melulu menanggung derita sepanjang masa.

Pada suatu hari, ia mendapat hadiah berupa buku berbahasa Belanda: Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang, buku berisi surat-surat Kartini. Buku paling mujarab: “Tak ada bacaan lain, di antara sekian buku bacaan yang pernah kunikmati, yang lebih berpengaruh kepadaku selain yang satu ini. Bukan saja menamatkannya, bahkan membacanya berulang kali. Aku merasa sangat bersimpati kepada penderitaannya dan perjuangannya. Di dalam surat-suratnya yang penuh rintihan jiwa, aneh, aku seolah melihat potret diri sendiri.” Ia pengagum Kartini, dibuktikan dengan turut menggerakkan Indonesia melalui Jong Java, Poetri Indonesia, dan Persatuan Wanita Republik Indonesia.

Keberanian menjadi perempuan maju terjadi pada 1928. Peristiwa Sumpah Pemuda berlanjut ke Kongres Perempuan I (Jogjakarta). Sujatin berlaku sebagai pemikir dan penentu teknis organisasi bagi perempuan Indonesia. Cora Vreede-De Stuers dalam buku berjudul Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan & Pencapaian (2008) menjelaskan: “Hampir tiga puluh perkumpulan perempuan mengikuti kongres ini. Masalah-masalah politik tidak dibicarakan. Para delegasi membatasi diri pada diskusi mengenai masalah pendidikan dan perkawinan.” Sujatin berperan besar di peristiwa bersejarah itu saat masih berstatus nona.

Sejarah memiliki muatan konflik asmara. Nona Sujatin mendapat kunjungan kekasih di hari-hari menjelang pelaksanaan Kongres Perempuan I. Sang kekasih mengajak berkencan ke Kaliurang dan bioskop. Ajakan wajar bagi lelaki-perempuan sudah bertunangan. Sujatin memiliki sikap: “Keberhasilan atau kegagalan kongres pertama ini menjadi tanggung jawabku. Aku tak ingin menjadi tokoh yang gagal. Sudah pasti semua rapat menyita waktuku, menjauhkan diri tunanganku yang sedang rindu. Arjunaku gusar. Dianggapnya aku tak mempedulikannya. Waktu ia telah balik ke Jakarta, akulah yang menulis surat memutuskan pertunangan kami.” Perempuan itu berani berpihak ke kongres ketimbang bermanja dalam lakon asmara.

Ia mungkin membentuk diri sebagai perempuan terhormat dan berani bermula dari peristiwa-peristiwa menentukan di masa lalu. Pada 1924, Sujatin mendapat tugas menerima dan mengatur tempat duduk bagi para tamu untuk menghormati kedatangan pujangga agung asal India: Rabindranath Tagore. Ia pun mendapat kehormatan sebagai pembaca puisi gubahan peraih Nobel Sastra (1913) dalam bahasa Inggris. Kunjungan sang pujangga ke Perguruan Nasional Taman Siswa (Jogjakarta) mungkin memberi sentuhan puitik dan politik ke Sujatin agar sanggup berargumentasi di hadapan lelaki dan kaum kolonial.

Kita boleh cemburu pada Sujatin. Gadis gandrung buku dan berpikiran tanah-air memiliki peristiwa-peristiwa sastrawi, memberi rangsang ke sikap memuliakan kaum perempuan di alur kesejarahan Indonesia. Perjumpaan dengan Rabindranath Tagore disempurnakan dengan kekaguman pada Soekarno. Sujatin terpikat pada pidato-pidato Soekarno. Untaian kalimat mengarah ke persatuan Indonesia. Kagum bakal diselingi “permusuhan” pada masa 1950-an saat Soekarno mulai ingin berlakon poligami.

Di majalah Hai, 2-8 September 1986, ketokohan Sujatin Kartowijono (9 Mei 1907-1 Desember 1983) disajikan ke kaum remaja. Kata demi kata pengisahan seperti memberi kejutan ke remaja menjalani hidup di masa Orde Baru. Pembuka biografi ringan: dia tidak suka diremehkan/ tidak suka ke dapur/ tidak suka wanita dihina, apalagi dimadu/ dia membentuk organisasi paling gigih/ memperjuangkan hak kaum wanita/ dia ingin membentuk panggung wanita/ sejajar dengan panggung pria/ berhasilkah dia? Dulu, para pembaca mungkin kaget dan kagum.

Sikap keras pun diajukan berkaitan Pemilu 1955. Ia curiga pada siasat partai politik mengadakan seksi atau bagian wanita. Siasat meminta suara dalam hajatan demokrasi. Ia berlaku kritis: “Aku pribadi tidak setuju cara kerja seperti ini. Seharusnya kalau seorang wanita ingin terjun ke kancah politik, janganlah ia dibedakan atau membedakan diri dari kaum pria. Hendaknya seorang wanita masuk ke sebuah partai politik karena ia ingin berjuang dan setuju dengan pandangan politik yang dianut partai itu. Dus, tidak dengan jalan menjadi anggota seksi wanita dulu.”

Pemikiran ampuh Sujatin Kartowijono menjelang Pemilu 1955 gamblang tak dianut lagi oleh kaum perempuan menjelang Pemilu 2019. Sekian partai politik masih menggunakan siasat bermuslihat: menempatkan kaum perempuan di seksi ketimbang mendapat hak wajar di gejolak politik. Para elite politik malah bersaing menjadi pengesah kemunculan “emak” dan “ibu” di kancah politik melulu berpikiran angka demi kemenangan. Sujatin sudah terlupakan. Ia ada di kejauhan. Ia berada di majalah dan buku lama mustahil terbuka bagi orang-orang keranjingan bermedia sosial.

Pada masa lalu, Sujatin Kartowijono tak pernah menjadi ketua umum di partai politik atau mengajukan diri sebagai calon presiden. Ia memilih bergerak di titian pemikiran dan penguatan sikap. Ia mungkin terpengaruh dari pertemuan dengan Madame Sun Yat Sen saat kunjungan ke Tiongkok. Pengaruh sastrawi mungkin pula berasal dari cerita-cerita gubahan Pearl S Buck. Sujatin Kartowijono memang rajin bersantap bacaan, ikhtiar sulit ditiru kaum perempuan sedang turut berpolitik dengan menjadi caleg atau pengurus seksi di partai politik. Curiga pada politik pernah diimbuhi Sujatin Kartowijono dengan keputusan tak mau bibir berlipstik. Kita menganggap ia sedang mencipta sindiran politik itu “lipstik”. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!