Puasa itu Selo

 dt_140826_happy_face_sad_blue_800x600 

Richard P. Feynman, peraih Nobel Fisika tahun 1965 untuk teori Mekanika Kuantum, ternyata orang yang lucu! Suatu hari, ia menulis surat kepada Mrs. Chown, “Fisika bukanlah hal yang terpenting. Cinta adalah yang terpenting….” Jadi, belajarlah jatuh cinta sedalam-dalamnya, jangan cuma ngapalin rumus Fisika. Lol.

Begitu pun Stephen Hawking, saintis terkemuka pasca Albert Einstein yang ngupas Big Bang sebagai babakan dimulainya waktu dalam buku A Brief History of Time (2009), ternyata juga orang lucu. Ia mengaku bisa bertahan hidup di tengah serangan penyakit yang melumpuhkannya karena hidup ini lucu. “Kehidupan akan menjadi tragedi jika tidak lucu,” ujarnya.

Jauh sebelum masa mereka yang hidupnya identik dengan jagat serius, di era Yunani Kuno, tersebutlah sosok Thales (bukan tales, apalagi telo), yang oleh Bertrand Russell dimasukkan ke dalam kitab Sejarah Filsafat Barat-nya, yang juga sangat lucu. Di masa jayanya filsafat spekulatif itu, Thales mencetuskan ide reinkarnasi: orang baik akan terlahir kembali sebagai manusia dan orang jahat akan menjadi tikus. Di antara penyebab seseorang tereinkarnasi jadi tikus ialah akibat memakan buncis. Iya, buncis kita kini.

Ini ngakak banget! Mungkin tikus-tikus got yang segede gaban itu dulunya manusia-manusia jahat yang hiperlemak. Maka jika kau ingin jadi tikus yang slim kelak, pastikan kau mati dalam keadaan jahat dan rajin nge-gym.

Saya tak sanggup mengimajinasikan, kira-kira Dhanica yang doyan makan pare itu bakal tereinkarnasi jadi apa ya jika filsafat Thales ini berlaku? Bayangkan, makan buncis aja bisa jadi tikus, lha kalau pare?

Jadi novel teenlit yang best-gudang berjudul Pare Makes Me Jomblo gitu? Haaa, ini lucu sekali.

Oke, oke, cukuplah jejak-jejak ilmiahnya bahwa kaum cerdik pandai itu jenaka. Kelucuan, kita tahu, hanya bisa terbit dari lanskap pikiran dan hati yang selo. Longgar.

Jadi, Anda yang spanengan, yang hidupnya ndak selo, niscaya sulit menemukan kelucuan-kelucuan dunia ini. Maaf kata, itu tanda bahwa Anda tidak cerdas!

 Jika demikian keadaannya, tak ada cara lain untuk menerapi hidup yang singkat ini kecuali dengan (1) perbanyak dolan, (2) perbanyak membaca, (3) tidurlah lebih malam.

Saya berpikir, lantas, bukanlah hal yang sama sekali sulit lho untuk menjadikan momentum puasa Ramadhan sebagai ajang “men-selo-kan” diri itu. Agar Anda tidak spanengan lagi, agar Anda lalu lucu, agar Anda ujungnya cerdas.

Why not? Mau dalil?

Baik.

Man shaama ramadhana imanan wa ihtisaban ghufira lahu ma taqaddama min danbihi (siapa yang berpuasa Ramadhan dalam keadaan iman dan introspektif maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu).

Para tekstualis yang spanengan akan sepanjang masa menerjemahkan dalil tersebut sebagai “berpuasalah dengan iman dan tulus.” Begitu terus sampai batu-batu di seberang rumah habis dijadiin akik. Ah, sudahlah.

Saya akan fokus saja pada kata masdar “ihtisaban” dan “ma taqaddama min danbihi”. Kata “ihtisaban” ini berasal dari kata dasar ihtasaba, yahtasibu, ihtisaban. Demikian operasi ilmu tasrifnya. Arti fi’il madhi-nya (ihtasaba) adalah menghisab, mengevaluasi, mengintrospeksi (dan sejenisnya). Dalam posisi sebagai masdar, makna katanya berubah menjadi “keadaan menghisab, mengevaluasi, mengintrospeksi” dan sejenisnya. Sebuah keadaan jiwa yang konstan, intensif, berkesinambungan.

Umar bin Khathab pernah berkata, “Hisablah dirimu sebelum kelak benar-benar dihisab di akhirat.”

Kau pasti tahu, di dunia ini, tak ada orang yang spanengan, ngototan, ngeyelan, sok beneran, sudi melakukan penghisaban diri itu, introspeksi diri itu. Nggak ada. Sebab orang spanengan selalu tak punya waktu untuk merenungi diri, lantaran selalu merasa telah purna. Purna benarnya, purna pintarnya, purna Allah bangetnya.

Lha buat apa lagi merenungkan suatu hal bila hati dan pikiran kita selalu merasa kebak dengan “Allah banget”, to? Selalu merasa benar seperti kehendak Allah, to? Akibatnya, kata Wittgenstein, jadilah ia “lalat dalam stoples kaca”. Merasa bisa melihat dan mengetahui segalanya padahal ia sama sekali tak pernah ke mana-mana. Ia tetap di sana, di dalam stoples kaca, dibekap absolutivitas perasaan dan pemikirannya sendiri. Selamanya, sampai tuek, sampai elek.

Di sisi lain, kau pun niscaya tahu, di keluasan dunia ini, sejuta peristiwa terus terjadi. Lalu bagaimana mungkin kau akan bisa menangkap kelucuan-kelucuan dunia bila kau tak pernah keluar dari stoples kacamu, cangkangmu, kamarmu?

Ah, saya berat sekali mengatakan analogi ini kendati tetap harus saya ungkapkan memang biar Anda lebih jelas; situasi lalat dalam stoples kaca itu sama persis dengan bagaimana mungkin kau akan menemukan pasanganmu di luar sana bila kau tak pernah keluar dari trayek harianmu: kamar kos–kantor/kampus–kantin/warung–kamar kos. Begitu terus sampai tuek, sampai elek.

Benar-benar tak ada jalan lain bagi siapa pun yang gagal menemukan kelucuan-kelucuan hidup ini selain keluar itu tadi. Menyempal dari trayek spanengannya. Keluar secara fisik (dolan) maupun pikiran (membaca). Kedua aktivitas ini jelas menuntutmu untuk sedikit tidur lebih malam.

Lalu, sekarang hisablah dirimu dengan fair: adakah “warna baru” dalam pikiran dan hatimu setelah melakukan hal-hal demikian dengan membandingkannya pada dirimu tahun-tahun lalu?

Tertawalah. Kini kau mendapati dirimu ternyata lebih lucu, bukan? Lebih mampu menahan diri dan nyantai dalam menyikapi apa pun yang hadir ke dalam kehidupanmu. Catat: semua itu merupakan berkah “selo” itu tadi.

For example. Bila selama ini kau menganggap jilbab yang lebar mengurung tubuhmu adalah terbenar, kini kau mengerti bahwa apa yang kau pakai itu benar tetapi apa-apa yang dipakai orang-orang lain yang tidak sama denganmu juga benar. Kau nyaman dengan jilbab lebar, ya silakan, sembari mempersilakan orang-orang lain berbeda style denganmu.

Jika dulu kau menuding bakul nasi di bulan Ramadhan itu kawan-kawan setan yang tak menghormati puasamu, kini kau mudah menemukan sudut pandang lain bahwa mereka sama sepertimu yang perlu uang ekstra untuk mudik dan disenengi dedek-dedek gemes-mens yang ngelarisi warungnya. Jika pun kau melihat seorang sopir muda yang klepas-klepus di warung itu, kau akan lebih nyantai menatapnya sebagai muslim yang tidak bojoable. Kini kau jadi melek, kan, bedanya lelaki muslim yang bojoable dan unbojoable.

Inilah pentingnya hisab yang akan menghapus “ma taqaddama min danbihi” itu (dosa-dosa yang telah berlalu). Kata “danbi” (dosa) sangatlah terbuka untuk dilebarkan dari sekadar dosa-dosa ‘ubudiyah. Kegagalan mengintrospeksi diri akibat spanengan, galakan, ngeyelan, jelas sangat kontekstual untuk ditempatkan sebagai bagian inheren dari “ma taqaddama min danbihi” itu. Ini pun jika kau melek bahwa Islam memiliki dua pilar sekaligus lho: ‘ubudiyah (hubungan sama Allah) dan mu’amalah (hubungan sesama manusia, termasuk alam semesta).

Kini coba hisab: berapa banyak orang yang kau sakiti di masa lalu (ma taqaddama min danbihi) itu dengan nyinyiran, komenan, hingga share-an yang ngotot-spanengan?

Banyak? Oh, pantas, logis sekali to bila kau tak laku-laku selama ini. Lha galak, siapa yang sudi hidup sama singa coba.

Tetapi setelah kau rajin introspeksi diri (ihtisaban), ya karena dolan, membaca, dan tidur lebih malam, lantas kau menjadi lebih selo sehingga mudah menemukan kelucuan-kelucuan, lalu tak lagi galak-reaktif-spanengan (ma taqaddama min danbihi), hidupmu pun otomatis menjadi lebih menarik penuh magnet. Logis pula to bila Arjuna lalu datang kesepong magnetmu.

Asyik sekali, kan, puasa? Bisa menjadikanmu lebih selo, lucu, cerdas, sehingga bojoable secara coming soon dan as soon as possible.

Huaha.

Edi AH Iyubenu

Comments

  1. Umi Sakdiyah Reply

    Ternyata yang serius itu lucu, dan yang lucu itu serius 😀 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!