Puisi-Puisi Kiki Sulistyo

 

Sekarang Tambang

domba yang terbaring dalam tidur gembala

telah hilang. telah hilang dari cerita setelah

seseorang dipotong tangannya.

gunung yang kaki-kakinya tempat tegak

gembala. telah dicuri. telah dicuri dari

mata para petani.

sekarang tambang; menghitamkan kulit pekerja,

di bawah cambuk kolera

mereka memukul, mengarak batu-batu

mengikut arah bintang nazaret

domba yang sudah tiada, menyisakan

gerak awan. gerak awan dari mimpi

seorang kelasi.

datang tuan-tuan, mendatangkan hukum

dan undang-undang. baru. murni.

gembala terjaga di tepi kitab suci.

(2021)

 

Dolores

untuk dolores di rawa-rawa

benang-benang magenta

membuat badai es, setelah cacing

antariksa melingkari sistem biner

bintang antares.

dolores dingin pasi, bunyi lonceng

gelap, tembikar tembaga

bergoyang memanggil orang ke ladang,

ke jalan, ke makam-makam

siapa itu, dengan mantel basah, menggali

beku tanah.

untuk dolores di rawa-rawa

tepung meteora –asam dan tajam-

menimbun kota, batas peta, garis era,

biota antariksa, turun

membangkitkan kembali

jasad daun-daun.

(2021)

 

Palagan

gula dan darah sama manisnya

menyaran lidah menyiram tanah

untuk palagan.

suara beradu di pusat stepa

jejak kuda dan serak gagak

dimandikan salju merah

sihir agama; orang digantung

tengah lapangan, bidah antara

keliman jubah

ilmu tak tunduk di situ

ilmu mencair di mulut kanak

seperti manisan dari pabrik

yang diselundupkan para budak

 (2021)

 

Delapan Kakinya Bergoyang

apa yang kau bayangkan menyerupai apa

yang diciptakan bayang-bayang

delapan kakinya bergoyang, memilin lilin

untuk umurmu, menggerakkanmu keluar

dari kepompong malam

langit pucat dinihari, lengan udara memanjang

setelah perairan, tambak garam,

tumpukan sayur di meja pasar

sudah asinkah tawar menawar antara kalian?

jantung matahari menggerakkanmu

juga daun yang bergulung di bawah

jaring laba-laba.

kau tahu, semua ada beberapa lama

lalu tak ada untuk selama-lamanya

(2021)

 

Daging Ara

daging ara, kelembutan khusus yang mendekati

citra air, menipu kuas agar gaung suara rendah

antara rahang-rahang gua.

firdaus ini dipenuhi bulu-bulu finiks, kelenjar

mimpi, dan denyut yang terjadi di lain hari

bunyi warna mekar atas abu pembakaran

hendak menyadap yang tak tertangkap,

di keluasan metafora, tempat yang tak

bernama, berenang atau meregang sampai

batas-batas ketakmungkinan.

adalah ketiadaan, lapisan tebal bahasa

yang membuat ara jadi ada.

(2021)

 

Samar dan Rahasia

birukan bibirmu untuk laut di hadapanku

kapal itu, mungkin mengangkut rasa takut

kita bisa berenang ke sana, atau tenggelam

di daratan, dalam tekanan cahaya.

bibirmu menegakkan tugu karang

basah oleh garam kata, bilamana

terompet panjang kedatangan

menghempas batas-batas dunia

kita di bawah lempeng angkasa

samar dan rahasia, sementara kapal

membuang seluruh muatan, rasa takut

larut begitu menyentuh permukaan laut

disebutlah kau bulan

membasahi sayap

burung jantan

(2021)

 

Maut

mendekat, dan semakin mendekat

jadi pisau bagi lembut leher kita

setiap tengah malam, menambah

satu detak panjang, terjulur jauh

ke dasar bumi

mendekat, dan semakin mendekat

kabar dari pelantang, mereka datang

berduyun-duyun, orang mati demi

orang mati, dengan satu tanda; peti

terbungkus tabir matahari

mendekat, dan semakin mendekat

berdiri ia kini di muka pintu, seperti puisi,

tak mengetuk, hanya telanjang, hendak

menghapus bagian-bagian paling terang

dari kata-kata, pakaian kita ketika mengembara

di padang dunia.

(2021) 

Kiki Sulistyo
Latest posts by Kiki Sulistyo (see all)

Comments

  1. Ahmad Fauzi Al Idrus Reply

    Puisi nya bagus ki… Apa kabar?… Saya Fauzi palembang…

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!