Runtuhnya Tauhid Kita

eacartawards.org.uk

Tanpa dirimu ada di dekatku

Aku bagai ikan tanpa air

Tanpa dirimu ada di pelukku

Aku bagai pantai tanpa lautan

(Slank)

Modernisme telahlah sangat sempurna memorak-porandakan Ruhani kita sebagai hamba Tuhan, sebagai manusia spiritual. Secara ontologis, tidak ada jalan hidup lain bagi seorang muslim, misal, untuk tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya landasan, keinginan, dan tujuan hidupnya. Hanya Allah-lah ontologi kita. Kita menyebutnya tauhid—suatu ontologi yang mutlak harus digenggam tanpa jeda, dalam keadaan apa pun, di mana pun, sebagai ciri utama kemusliman. Kita lazim menyenaraikannya dalam pekik: la ilaha illallah, la haula wala quwwata illa billah, lahul muluk walahul hamdu wa huwa ‘ala kuli syai-in qadir, hingga inna lillah wa inna ilahi raji’un. Dll.

Begitulah kita (mestinya) bertauhid secara ontologis.

Tentunya, ruang ontologis yang berupa saripati ini kemudian perlu dijenterakan dalam begitu banyak epistemologi—yang gilirannya melandasi segala aksiologi kita dalam segala bidang (sosial, muamalah dan syariah, ubudiah). Konsep, paradigma, teori, dan tafsir terhadap ontologi tauhid itu menjadi dinamika pemikiran yang alamiah belaka untuk berkembang terus-menerus.

Apa pun itu lajunya, arahnya, argumennya, sebutlah bernuansa tasawuf, fiqh, adab, dan sosial-antropologis, sudah pasti epistemologi-epistemologi tersebut tetap hanya “wedaran” yang dibuat untuk mengalirkan air-air ontologi tauhid itu. Ibarat anak-anak sungai yang mengalir bercabang-cabang dari satu sumber mata air besar bernama Tauhid, demikianlah keragaman epistemologi dan ekspresi itu berdinamika sejak dahulu kala. Tak ada masalah.

Garis tegasnya menjadi sederhana di sini: apa pun dan bagaimanapun galurnya, tidaklah bisa diterima akal sehat bila ada sebuah epistemologi yang justru memungkiri ontologinya; seorang anak menabrak ibunya sendiri.

Lalu menderulah angin modernisme yang jelas-jelas memiliki ontologi berpunggungan dengan ontologi keislaman, ketauhidan. Modernisme yang menggaungkan materialisme tidaklah berada di jalur ontologis yang sama dengan Islam. Seiring laju waktu, modernisme makin gahar meruntuhkan tembok-tembok kokoh ontologi kita, digantikan oleh berbagai kibaran materialisme. Entah itu industrialisme, kapitalisme, globalisme, feminisme, hingga demokrasi, yang semuanya diberhalakan sedemikian pongahnya atas nama kuasa manusia hingga ontologi tauhid kita tak lagi menjadi Ruhani segala kibaran tersebut. Kuasa Tuhan dipertukarkan dengan kuasa manusia.

Tidak berarti memang bahwa ontologi tauhid otomatis bertentangan atau menolak segala kibaran isu dari wilayah mana pun, termasuk percik-percik modernisme. Tidak. Mau itu kapitalisme, feminisme, hingga demokrasi, misal, amat boleh jadi tercipta sinergi antara ontologi tauhid dengan epistemologi-epistemologinya. Yang menjadi perkara kekinian ialah fakta besar bahwa narasi-narasi materialisme modernisme itu menumpas habis dimensi ontologis tauhid itu dari genggaman kita. Kita tak lagi menjadi berbeda secara spirit, ontologi, dan orientasi hidup dengan kelompok-kelompok modernisme radikal yang menegasi kemahakuasaan Tuhan dalam hidup ini.

Lantas, dalam pusaran fakta-fakta besar demikian, mau dikemanakan tauhid kita?

Tidak perlu saya untaikan panjang lebar apa itu tauhid, niscaya semua muslim mafhum di luar kepala. Cukup kita pegang esensinya bahwa tauhid adalah semata sepenuh-penuhnya kepasrahan kepada Allah. Bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, pada hidup kita, telah ditentukan secara mutlak olehNya jauh-jauh sebelum kita dilahirkan, termasuk hidup dan mati kita (ma ashaba min mushibatin fil ardhi wa la fi anfusikum illa min kitabin min qabli an nabra-aha). Buahnya di dunia: fala khaufun ‘alaihim wala hum yahzanun (tidak ada rasa takut dan sedih dalam hidupnya).

Maka silakan saja Anda mau jadi guru, pedagang, nelayan, petani, atau penulis, jika tauhid menjiwai hati kita sebagai satu-satunya Cahaya Ruhani yang menelangkai pikiran dan perilaku kita, niscaya buah “tidak ada rasa takut dan sedih dalam hidupnya” dalam keadaan apa pun itu akan menjadikan diri kita selalu tenang, tenteram, dan bahagia.

Mau panennya lagi rusak, hasil melautnya lagi sulit, tulisannya telah lama tak dimuat-muat, semua itu hanya akan dijawab dengan penuh mantap bahwa inilah takdir Allah pada kehidupan saya kini. Tugas manusiawi saya, sebagai ekspresi syukur atas anugerah akal dan fisik, hanyalah berusaha, sekuat tenaga—inilah dimensi materialnya. Perihal hasilnya, apakah sesuai harapan atau tidak, berpulang semata-mata pada takdirNya.

Selesai.

Hidup yang diarungi dengan cara demikian, yang bersandar pada Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, adalah jenis hidup yang paling menenteramkan hati dan pikiran. Hidup yang demikian sama sekali bukanlah karakter hidup fatalistik—sebab kita juga diajarkan untuk berikhtiar sekuat tenaga, diperintahkan tidak berputus asa dari pertolongan Allah (wala taiasu min rauhilllah). Hidup yang demikian adalah pola hidup yang hierarkis: pada diri, dikuasakan dorongan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai impian hidup kita—dan inilah asalan Allah kita tak diberi tahu catatan takdir diri kita—dan di atasnya dibingkai dengan satu spirit tunggal: kepasrahan kepada keputusan Allah. Inilah jantung tauhid dalam merelasikan lahiriah kita dengan batiniah kita. *Tentang relasi usaha dan takdir, insya Allah saya bahas di tulisan lain.

Ontologi ini bertolak belakang dengan ajaran modernisme yang berporos pada “cogito ergo sum”, misal. Aku berpikir maka aku ada; aku berjuang maka aku berhasil; aku menulis maka aku hebat; aku membaca maka aku cerdas; aku pelan-pelan maka aku selamat; aku berobat maka aku sehat; dan sebagainya.

Ontologi materialisme modernisme ini menjadikan manusia sebagai poros eksistensialnya—kalau tauhid menjadikan Tuhan sebagai poros eksistensialnya. Rasionalisme lalu dijadikan panglima agungnya. Buahnya: semua hal dalam hidup ini diyakini akan terjadi berdasar semata-mata kinerja akal dan fisik.

Menabunglah maka kau kaya; dua anak cukup dan bisa buatmu bahagia; piknik adalah cara menjadi manusia; nongkrong adalah gaya hidup yang membahagiakan; dan sebagainya, dan seterusnya. Slogan-slogan materialisme tersebut menjadikan kita tereduksi dari marwah utuh kemanusiaan kita sendiri. Dimensi batiniah, spiritualitas, terpapras sedemikian akutnya oleh pemberhalaan lahiriah dan akal.

Wajar bila kita makin gampang melihat kesenjangan ekonomi meluas sedemikian kejamnya, kecemburuan sosial di ruang, fasilitas, dan pelayanan publik melimpah ruah antara si kaya dan si miskin, bahkan manusia bisa membeli manusia lainnya dengan sejumput materi.

Orang-orang kota yang dibekap keriuhan, rutinitas, dan kesuntukan jalanan kemudian rela membayar begitu mahal untuk sekadar mendapatkan ruang-ruang kamuflase yang seolah menjanjikan kebahagiaan—padahal itu tak lebih dari praktik kapitalisme lainnya, yang tak beda sama sekali dengan eksploitasi-eksploitasi lainnya, dan ketika kembali ke rumah, ke dunia nyatanya, semuanya kembali terasa menyesakkan, membosankan, dan melelahkan.

Demikian narasi-narasi metropolis kontemporer yang dibiakkan modernisme meluluhlantakkan jati diri kita sebagai manusia, ruhani kita, batin kita, tauhid kita, Tuhan kita. Modernisme mendorong kemajuan-kemajuan luar biasa secara material kepada kehidupan kita, yang dengannya kita merasa akan mampu merengkuh kebahagiaan sebagai orientasi hidup di dunia, maka kita saling berlomba dan sikut-sikutan deminya, untuk sejurus kemudian kita merasa hampa, letih, lelah, tiada makna. Lalu, kita berusaha melarikan diri dari label-label hidup yang kita anggap biang kerok kejenuhan hidup itu, tetapi dengan cara menjungkalkan diri lebih hunjam ke dalam liang materialisme modernisme itu. Sudah pasti, tak ada bahagia di dalamnya. Tidak pernah terjadi buah “tidak ada rasa takut dan sedih dalam hidupnya” di situ.

Maka melawan deraan modernisme menjadi cara yang seyogianya kita masuki untuk mengembalikan jati diri kita sebagai manusia, dengan menjadikan ontologi tauhid sebagai puncak hidup kita. Melawan tentunya bukan dengan negasi, sebab kita kini memang sedang menghuni sebuah dunia dengan tata bangunan yang beratmosfer demikian. Melawan harus dilakukan secara batiniah, Ruhani: bahwa apa pun yang kita dapatkan dalam hidup ini seusai melambungkan usaha-usaha keras, itulah keputusan Allah kepada diri kita.

Jika Anda berkenan lebih jauh memasuki perlawanan modernisme dengan mengembalikan diri pada Ruhani Tauhid tersebut, cobalah lakukan hal sederhana yang sangat bisa diwujudkan: pergilah ke tempat gelap, sunyi, dan tak dikenal. Lalu diamlah—mungkin bisa disertai merenung.

Apakah Anda takut?

Jika iya, itu isyarat bahwa Anda belumlah bertauhid padaNya. Maka wajar saja, bila hidup Anda juga riuh diselubungi ketakutan-ketakutan, kekhawatiran-kekhawatiran, dan kesedihan-kesedihan.

 

Blandongan, Jogja, 18 Mei 2017

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!