“Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, maka percayalah. Jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, maka carilah….”
“Tidak ada fakta, yang ada hanya tafsir.”
****
Jika Anda ditanya, siapakah sosok yang paling spektakuler ekspresi ateismenya? Besar kemungkinan jawaban Anda adalah Nietzsche. Kita sangat mengenalinya berkat pekikannya “Tuhan telah mati”—yang pertama kali dipublikasikan melalui buku Die Frohliche Wissenschaft. Di masanya, proklamasi ini memantik respons keras dari banyak pihak, misal dari Henry de Lubac, tetapi juga sokongan dari berbagai pihak, misal Gabriel Vahanian dan Thomas J.J. Altizer, melalui kampanye “Teotanatologi”—teologi kematian Tuhan.
Nietzsche bukanlah sosok yang tidak kenal agama. Akar tradisi keluarganya justru sangat kental dengan tradisi agama. Kakeknya, Friedrich August Ludwig, adalah pejabat penting di Gereja Lutheran; ayahnya, Karl Ludwig Nietzsche, merupakan pendeta di Rocken; ibunya, Franziska Oehler, berasal dari keluarga pendeta.
Bagaimana ia sampai berlabuh pada ateisme radikal itu?
Pencarian kebenaran, demikian jawabannya. Ingat salah satu kredonya, “Tidak ada fakta, yang ada hanya tafsir.” Spirit inilah yang menghantarnya menyerukan nihilisme sebagai jalan menuju Manusia Super/Adi Manusia (Übermensch). Segala kemapanan pandangan didobrak dan dinegasi demi membebaskan manusia dari belenggu-belenggu, agar menjadi Manusia Super/Adi Manusia, termasuk doktrin-doktrin agama.
Tahun 1889, ia mengalami sakit jiwa. Jelang kematiannya pada tanggal 25 Agustus 1900, ia dilukiskan dengan sangat tragis: tak bisa mengenali siapa pun dan berpikir apa pun.
Saya tak sedang ingin membahas Niezsche. Ini sekadar ilustrasi tentang pemikir paling fenomenal, berpengaruh, dan sekaligus “terbunuh” oleh ateisme radikalnya. Tentu saja, di lingkaran ateis, kita masih bisa menyebut nama Sigmund Freud dengan semboyan “agama adalah ilusi”, pula Karl Marx dengan slogan “agama itu candu”.
Mengapa Nietzsche “terbunuh” oleh ateismenya?
****
Saya percaya, segala usaha pencarian kebenaran akan mengerucut secara filosofis pada pekikan Nietzsche ini: “Tidak ada fakta, yang ada hanya tafsir.” Pencarian kebenaran apa pun karenanya niscaya takkan pernah menemukan dermaganya, selain tafsir itu an sich. Prinsip ini bekerja dalam ranah apa pun, termasuk Tuhan dan agama, karena memang semua ekspresinya takkan steril dari “spekulasi”—sekalipun kita menyebutnya filsafat. Maka, perkara tafsir yang mana yang benar, ia sangatlah absurd. Paling banter, yang bisa kita jadikan pegangan untuk menakar autentisitasnya hanyalah aspek kekokohan metodologisnya, bukan ontologisnya. Wujudnya, buahnya, tetaplah sekadar tafsir. Begitu khittah-nya. Jadi, memperkelahikan kebenaran sebuah tafsir dengan tafsir lainnya sungguhlah merupakan pekerjaan absurd dan sia-sia kaum megalomania. Sudah.
Atas dasar realitas filosofis ini, sungguh tidaklah otoritatif sama sekali untuk menabalkan pilihan menjadi religius sebagai lebih benar dan mulia dibanding pilihan orang lain untuk menjadi agnostik macam John Naisbitt dan Patricia Aburdene yang terkenal dengan gerakan New Age di era 2000-an atau ateis ala Nietzsche, Kant, Sartre, Freud, dan Marx. Sebagai sebuah pilihan yang lahir dari proses pencarian, karut-marut tafsir, semuanya sama belaka.
Namun, sudah pasti, sebuah pilihan meniscayakan konsekuensi. Risiko. Seradikal apa pun Sartre ketika menyatakan kebebasan sebagai autentisitas terdalam manusia, yang dengannya manusia berhak mutlak untuk menjadi apa dan bagaimana, ia tetap menyertakan disclaimer bahwa pilihan bebas itu harus sekaligus diiringi pengertian terhadap konsekuensi-konsekuensinya. Ini mudah dimengerti jika ditilik dari, misal, perspektif “berbagi ruang”, bahwa muhallah kita bertindak bebas mutlak, menihilisasi apa pun, untuk alasan apa pun, termasuk Ubermensch, tanpa mengindahkan risiko ruang yang dibagi kepada pilihan-pilihan bebas lainnya. Sebuah pilihan bebas pada sebuah ruang kolektif—sebutlah society—meniscayakan konsekuensi pada kolektivitas yang harus dipertanggungjawabkan. Menjadi subjektif, dalam ungkapan lain, adalah sekaligus menjadi objektif, bukan?
Ini pandangan profannya. Berikutnya, saya akan memperlihatkan sekarang betapa berbedanya konsekuensi sebuah pencarian dan pilihan itu bila ditilik dari dimensi sakralnya.
Ketika Nietzsche mengatakan: “Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, maka percayalah. Jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, maka carilah…,” ia niscaya mengerti benar aslinya bahwa manusia bukan hanya terdiri dari anasir duniawi, tapi juga batiniah—tentu Nietzsche tak pernah menyitir akhirat sebagaimana manusia religius meyakininya. Ia percaya keberadaan jagat batin sebagaimana kita meyakini dan merasakannya, sebagai bagian inheren dari kemanusiaan setiap kita.
Tetapi, jagat batin dan nalar ini, di tangan Nietzsche, didikotomikan—inilah bedanya dengan kita yang religius. Maka wajar bila ia lalu mengotakkan kebahagiaan dengan kebenaran seolah keduanya berpunggungan; yang pertama menunjukkan keberadaan jagat batin dan yang terakhir menunjukkan jagat nalar. Cara menempuhinya pun lalu dibuat berbeda olehnya: kepercayaan (keyakinan) menjadi jalan untuk memuaskan jagat batin dan pencarian kebenaran menjadi jalan bagi kepuasan jagat nalar. Silakan pilih, cetus Nietzsche.
Dikotomi ekstrem itu terang sekali ketika ia bicara tentang “kembalinya segala sesuatu”: “…Ubermensch menjadi makna dunia ini. Tetaplah percaya pada dunia dan jangan percaya mereka yang berbicara kepadamu tentang harapan-harapan di balik dunia ini. Mereka adalah para peracun, entah mereka tahu atau tidak.”
Jagat batin adalah racun menurut Nietzsche, demikian simpulan saya, racun bagi aksi-aksi negasi penghasil Manusia Super yang menjadi tujuan utama dari seluruh bangunan filsafatnya.
Saya kira, di garis ini pulalah kawan-kawan ateis hari ini menempatkan landasan epistemologisnya, pencariannya. Sah-sah saja dalam konteks filosofis untuk memilih suatu pilihan itu—toh semua kita bebas memilih, bukan, sepanjang tak mengganggu orang lain dalam perspektif kolektivitas itu?
Namun, tepat di sini pula, dikotomi jagat batin dan jagat nalar ini menjelma racun eksistensial kemanusiaan itu sendiri.
Sudah pasti, usaha-usaha mendapatkan perspektif yang membebaskan demi memajukan pikiran dan lelaku kita sebagai manusia yang menghuni ruang dan waktu menisbatkan pencarian—bukan kepercayaan atau keyakinan semata. Kepercayaan dan keyakinan yang melampaui mekanisme pencarian pada derajat eksklusif-fanatis memang adalah belenggu yang harus dipatahkan.
Sudah teramat ruah bagai bah bukti empirisnya, apalagi di hari ini, betapa kita yang religius kerap terjungkal pada tindakan-tindakan amoral, yang tidak religius sama sekali, semisal menista ortodoksi-ortodoksi orang lain semata karena berbeda dengan ortodoksi yang kita yakini kebenarannya, akibat belenggu-belenggu kepercayaan dan keyakinan eksklusif-fanatis yang menggerus nalar itu. Maka nihilisme memang bisa menjadi jalan keluar demi kritisisme belenggu-belenggu itu. Dalam istilah yang lebih ramah, sebutlah ia kritik wacana agama yang mengembuskan deideologisasi dan demitologisasi agama.
Setuju.
Karenanya, dengan segenap pengertian, saya memberikan respect kepada, misal, pemikiran progresif Ali Harb, Jasser Auda, Mohamed Arkoun, Muhammad Syahrur, atau Nasr Hamed Abu Zayd, tentu tanpa perlu berhasrat merendahkan pemikiran Ibnu Taimiyah, Abul A’la al-Maududi, dan Muhammad bin Abdul Wahab.
Namun pertanyaannya—inilah letak masalah meng-eksistensi itu—untuk apa dikotomi-negasi jagat batin dan nalar itu dilakukan, toh semua kita, termasuk Nietzsche, mengetahui dan bahkan merasakan keberadaan dimensi batin yang sacred itu? Bukankah itu setamsil usaha membunuh salah satu dari dua bagian mutlak pada diri kita sendiri? Bukankah itu sebangun belaka dengan kehendak untuk hidup sehat dengan rajin olah raga tetapi alpa mengenakan baju? Bukankah itu sesederhana memahami betapa usaha segigih apa pun untuk menanggalkan kenangan dari hidup ini muskil benar karena denyar ingatan dan otak begitu tunggal dan hati dan perasaan begitu padu?
Maka, untuk apa mengumbulkan nalar sembari menginjaki batin; membanggakan kebenaran sembari membenamkan kebahagiaan; merayakan pencarian atas nama pemujaan rasionalitas sembari lalai pada urgensi keyakinan yang menjadi sumber ketenteraman hidup?
Bukankah secerdas apa pun Anda, bila tak bahagia, Anda adalah ketiadaan belaka? Bukankah sekokoh apa pun pencarian filosofis Anda, bila tidak menghadirkan damai di batin, Anda tak lebih dari kehampaan buih di lautan?
Saya gagal mengerti.
Setiap kita menyenaraikan pencarian kebenaran seprogresif dan sedinamis apa pun, misal melalui nihilisasi, bila tidak dikawani perawatan yang tekun pada jagat batin, niscaya buahnya tidak akan berbeda dengan kegigihan Sisifus—dalam kisah Albert Camus—yang mendaki terjal gunung untuk sampai ke puncak, tetapi kemudian menggelundung, lalu mendaki lagi, jatuh lagi, dan demikian selamanya. Berjibaku dengan pencarian yang muaranya adalah selalu dan selalu tafsir yang dinamis-relatif tanpa semburat keyakinan dan kepercayaan atas kebenarannya hanyalah cara hidup Sisifus yang menyedihkan.
Untuk apa menjadi Sisifus?
Sayyed Hossein Nasr, misal, telah memberikan sangkalan pada negasi alam batin (keyakinan dan kepercayaan) ini melalui istilah “Perjanjian Primordial” antara manusia dan Tuhan di alam rahim. Tepat ketika ditiupkan ruh ke janin manusia, merasuklah perjanjian abadi itu; bahwa berdenyut sekaligus dimensi sakral pada ruhani manusia selain dimensi profannya yang lahiriah; bahwa muskillah manusia senihilis apa pun membengkalaikan suara Tuhan, suara hati, dari kehidupan profannya—yang bila itu dilanggar, risikonya adalah kehampaan-kehampaan. Suara hati merupakan suara Tuhan yang Maha Baik yang berlaku universal, lintas SARA, suara-suara kemurnian yang selalu hadir di kedalaman batin manusia. Sebedebah apa pun seseorang, nuraninya pasti selalu mengirimkan alarm kebaikan-kebaikan di batinnya. Itulah hakikat manusia.
Maka menampik jagat batin ala Nietzsche yang mempongahi suara-suara Tuhan yang tersemat sejak Perjanjian Primordial itu berarti setara dengan mencampakkan keutuhan hakikat kemanusiaan kita. Usaha-usaha demikian, seateis atau agnostik apa pun Anda, niscaya hanya akan membenturkan Anda pada tembok kehampaan, kegamangan, dan kesia-siaan yang secara kodrati tidak pernah Anda kehendaki—bukankah untuk alasan-alasan demikianlah Anda menolak keyakinan dan kepercayaan spiritual itu dengan mengklaimnya tidak ilmiah dan tidak masuk akal?
Lihatlah betapa merananya Nietzsche di akhir hayatnya—lupa ingatan, terasing dalam kesendirian, dan melumut di kesenyapan yang menggiris.
Perjanjian Primordial antara manusia dan Tuhan di alam rahim itu adalah senarai sangkan paraning dumadi setiap kita—betapa setiap kita adalah manusia yang secara asali memuat entitas sakral sekaligus profan, ruhani sekaligus nalar, batin sekaligus lahir, dan keyakinan sekaligus pencarian. Tak heran, seradikal apa pun kita merasional, batin kita kerap diam-diam melengkingkan asa, puja, dan doa pada Kehidupan (sebut saja itu Tuhan) sebagai ekspresi terdalam alam batin-spiritual pada damba-damba hidup kita.
Semua kita jelas akan berdoa pada waktunya.
Jogja, 27 November 2016
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019
Natasha Deborah Panjaitan
sungguh inspiratif; mengubah perspektif saya dalam menyikapi isu-isu berbau agama yang tengah merajalela.