Pujangga dan esais bernama Goenawan Mohamad sah menjadi tua. Pada 29 Juli 2019, ia berusia 78 tahun. Tua tapi keranjingan menulis puisi, esai, dan novel. Bulan depan, dua buku puisi berjudul Don Quixote dan Tigris diobrolkan di Kafe Basabasi, Jogjakarta. Ia terus mengembara di kata-kata dan kota-kota. Pujangga tua belum lelah, masih berceramah dan perlahan ikhlas memberi petuah-petuah. Di sastra Indonesia, ia panutan meski memiliki sekian pembantah. Ia tak serajin Taufiq Ismail atau Sapardi Djoko Damono dalam menggubah puisi. Dulu, ia mengaku diri “pemalas” tapi puisi-puisi tetap ditulis menjadi menu memikat bagi para pembaca, dari masa ke masa.
Kita ingin mengenali Goenawan Mohamad bukan saat tua tapi saat awal tampil menjadi pujangga di keriuhan sastra Indonesia masa 1960-an dan 1970-an. Buku puisi berjudul Pariksit jadi pilihan mengetahui (lagi) titik perjalanan Goenawan Mohamad, sebelum semakin tenar. Kita menduga buku itu tersisa cuma belasan. Di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Pariksit tentu masih ada. Di rumah Goenawan Mohamad, buku itu mungkin sudah raib dan sengaja dilupakan. Buku tipis dan lawas, tak lagi disodorkan di perbincangan para pengagum dan pembantah Goenawan Mohamad. Si penggubah puisi itu jarang pula mengisahkan kedirian mula-mula melalui buku terbitan Litera, 1971. Buku sederhana, 32 halaman. Di sampul, ada gambar Rudjito. Kita membaca lagi dan berlagak memberi tafsir-tafsir sembrono atas Pariksit. Buku masih disimpan di Bilik Literasi (Solo) dalam kondisi kasihan. Buku bagian atas sempat terkena gigi-gigi tikus.
Buku itu diawali sesalan atas keteledoran dalam dokumentasi puisi-puisi digubah masa 1950-an dan 1960-an. Goenawan Mohamad menjelaskan: “Kira-kira ditahun itupun, atau mungkin setahun sesudahnja, ada satu dua sadjak jang dimuat madjalah Waktu, Medan, djuga hilang. Belum lagi hilangnja sadjak-sadjak saja jang saja tulis dan tidak dimuat atau mungkin sadja tak saja kirimkan, jang siapa tahu bisa dilihat kembali, seandainja saja mempunjai dokumentasinja. Siapa tahu mereka bisa berguna untuk mempertebal kumpulan tipis ini, setelah saja sadar, bahwa sebenarnja banjak djuga jang saja kerdjakan, tapi ternjata tidak banjak jang telah saja hasilkan selama 10 tahun jang lalu. Disitulah terletak kesulitan saja jang lain dalam membikin sebuah kumpulan puisi: terlalu sedikit jang harus dikumpulkan.” Pariksit terbit saat Goenawan Mohamad berusia 30 tahun. Dulu, memiliki buku puisi pertama di usia 30-an sudah dianggap ampuh. Para pujangga sulit menerbitkan buku puisi. Penerbit-penerbit jarang mau. Di ingatan Ajip Rosidi, buku puisi masuk daftar buku (paling) sulit laku dalam industri buku di Indonesia. Dulu, Pariksit mungkin cetak sedikit dan sulit laku.
“Berdosa” dalam dokumentasi diimbuhi pengakuan malu dan jemu. Puisi-puisi telanjur digubah dan dimuat di pelbagai majalah sering menimbulkan malu dan jemu jika dibaca lagi. Goenawan Mohamad itu pemalu. Pada masa 1970-an, ia mungkin berhitung peran di kesusastraan telah dikuasai oleh keampuhan berpuisi Rendra, Soebagio Sastrowardojo, Taufiq Ismail, dan lain-lain. Para pujangga tenar itu menentukan arus perpuisian meski Goenawan Mohamad memilih menengok kembali ke puisi-puisi gubahan Amir Hamzah (1930-an) dan Chairil Anwar (1940-an). Di puisi, ia mengacu ke dua pujangga mewariskan pengaruh besar dalam sastra Indonesia. Kagum dan keinginan menguak dua pujangga berlanjut ke penulisan esai-esai.
Mula-mula, puisi-puisi gubahan Goenawan Mohamad tampil di majalah Sastra, Basis, dan Horison, sejak awal 1960-an. Masa awal berpuisi dibarengi keranjingan menulis esai-esai puitis. Puluhan puisi mendapatkan mata-pembaca dan ulasan-ulasan. Situasi itu dianggap belum membahagiakan. “Atjapkali terasa menulis adalah suatu proses jang mentjapekkan, dimana setiap saat seseorang harus berichtiar untuk mengelak dari sematjam rasa mual terhadap diri sendiri,” kata Goenawan Mohamad. Pengakuan itu dibantah sendiri dengan seribuan “catatan pinggir”, ratusan esai, ratusan puisi, dan sebiji novel. Selama puluhan tahun, Goenawan Mohamad melawan atau membatalkan mual dengan terus menulis. Di puisi, ia masih belum sanggup menerbitkan koleksi lengkap di buku tebal seribuan halaman. Di esai, Goenawan Mohamad mungkin orang paling rajin di Indonesia. Kita sulit menduga jika semua esai terbit bakal menjadi buku tebal puluhan jilid.
Pariksit memuat halaman persembahan “untuk Eveline dan Ivan Kats.” Kita mulai membuka dan membaca halaman-halaman Pariksit dengan sejenis keterpukauan bermasa lalu. Sehalaman memuat dua puisi berjudul “Diberanda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” (1966) dan “Hari Terachir Seorang Penjair, Suatu Siang.” Dua puisi mengandung pohon. Ia mungkin pengagum pohon meski mulai mengalami kota sering mengabsenkan pohon. Kita mengutip sebait dari “Hari Terachir Seorang Penjair, Suatu Siang” untuk menemui pohon: Disiang muram bertiup angin. Kuhitung pohon satu-satu/ Tak ada bumi jang djadi lain: daunpun luruh, lebih bisu/ Ada matahari lewat mengendap, djam memberat dan hari/ menunggu/ Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku. Puisi dengan suara kalem-sopan, tak terasa teriak atau seruan. Bait terlalu tegang. Bait itu mungkin tergoda dari siasat berpuisi Amir Hamzah.
Kita mengutip sebait dari puisi “Diberanda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi”, digubah setelah malapetaka 1965. Ia menulis tak mendokumentasi sejarah-politik tapi suasana. Kita berlagak mengalami: Akupun tahu: sepi kita semula/ bersiap ketjewa, bersedih tanpa kata-kata/ Pohon-pohonpun berbagi dingin diluar djendela/ mengekalkan jang esok mungkin tak ada. Puisi dengan kematangan diksi dan “sergapan” suasana. Ia fasih mengisahkan melampaui potret. Sehalaman berisi dua puisi “berat” dan “pekat”. Kita beruntung membaca setelah berselang puluhan tahun, terhindar dari “langit” kesusastraan masa 1960-an dan 1970-an.
Pada 1961, Goenawan Mohamad berusia 20 tahun menggubah puisi berjudul “Dimuka Djendala”. Di Pariksit, puisi itu dimuat di halaman 15. Ia tampak pemilih kata. Detik-detik lekas berlalu tapi ia tak mendapat keberlimpahan kata. Waktu belum terlalu mendesak bagi lelaki muda ingin merampungkan puisi. Goenawan Mohamad seperti mengalami kegaiban di penulisan puisi dan keinginan mengisahkan dalam puisi. Kita membaca perlahan: Tidakkah siapapun lahir kembali didetik begini/ ketika bangkit bumi,/ sadjak bisu abadi,/ dalam kristal kata/ dalam pesona? Pujangga itu tak menanti jawab. Bait akhir telah menghentikan segala penasaran dan keinginan berjalan terus. Berhenti di pesona.
Puisi wagu berjudul “Kepada Kota” digubah pada 1963. Puisi mungkin sempat membikin malu dan jemu tapi “terpaksa” dihadirkan di Pariksit. Puisi seperti berasal dari masa 1930-an atau 1940-an. Puisi terbujuk lagak Poedjangga Baroe. Kita simak: Apabila engkaulah setia, tenangkanlah, kota/ hatimu jang mendengar semesta dunia/ Biarkan kini kita terdjaga/ Biarkan bumi semakin bergesa. Puisi itu milik Goenawan Mohamad, jarang dikutip atau pilihan untuk berulang tampil di buku-buku puisi di masa berbeda. Puisi mungkin dirangsang pikat dan ragu saat masa awal hidup di Jakarta, setelah meninggalkan kampung halaman. Puisi terpengaruh bacaan-bacaan mengenai kota, bermaksud urun ke perkembangan puisi bertema kota masa 1960-an.
Cara baca kita agak “memalukan” saat dibandingkan komentar-komentar dimuat di sampul belakang Pariksit. Burton Raffel menganggap Goenawan Mohamad “damai tinggal didalam sebuah bentuk baru dari puisi religius, halus dan terselubung.” Dua komentar pengamat sastra dari negeri asing pun dipasang: A Teeuw dan AH Johns. Cara memuat komentar-komentar seolah menginginkan Pariksit menjadi buku ampuh di alur perpuisian Indonesia modern. Kita bisa menduga itu bukti puisi-puisi Goenawan Mohamad “terpenting” di mata sarjana asing turut mengerjakan studi-studi sastra Indonesia. Buku sederhana pernah terbit dan menandai keampuhan si pujangga lahir di Batang (Jawa Tengah).
Kita akhiri membaca Pariksit dengan membuka halaman-halaman wawancara di majalah Matra dan Playboy. Goenawan Mohamad lama tak menggubah puisi, dikangeni para pembaca. Di Matra edisi April 1989, ia memberi keterangan bahwa masih menulis puisi meski sedikit. Goenawan Mohamad mengutip Ranggawarsita dalam laku berpuisi: angayomi ing tyas wening, weningin ati kang suwung, nik sakjatine isi. Terjemahan sederhana: “Berada di jiwa yang hening, heningnya hati yang kosong, namun sebenarnya penuh isi.” Ia memerlukan situasi itu dalam menggubah puisi. Pada usia menua, Goenawan Mohamad memberi sejenis petuah berpuisi. Di Playboy edisi Januari 2007, ia berkata: “Puisi bisa menangkap yang diam, yang tersembunyi, yang gelap.” Petuah agak panjang, setelah buku-buku puisi terbit: “Puisi adalah keniscayaan dari bahasa yang mencoba menangkap kehidupan dengan segala kegelapannya. Banyak gema yang tidak selamanya cerah yang hidu di dalam puisi.” Di dua majalah, pembaca tak menemukan ingatan atau pencatatan Pariksit, buku awal di biografi Goenawan Mohamad. Ingat, buku itu pernah terbit tapi rawan terlupakan dan berdiam di masa lalu: membisu. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022
choir
Tulisan mas bandung ini, berat bacanya yah? hehehe.