Siang, Puisi, Kabut Asap, dan Hujan yang Mulai Bertandang

esai puisi, siang kabut asap dan hujan bertandang
Sumber gambar likehdwallpaper.com

Ketahuilah, puisi kita ternyata tak adil. Apabila puisi sanggup melukiskan nuansa suatu momen tertentu, mengapa “siang” belum banyak dipuisikan? Padahal pagi begitu sering dipuisikan, malam pun demikian, senja apalagi. Namun mengapa siang seakan disingkirkan dari puisi, yang notabene ekspresi bahasa tingkat tinggi?

Kita bisa baca puisi pagi, contohnya, mari menyimak “Pagi-Pagi” karya M. Yamin. Lambat laun serta berdandan/ Timbullah matahari dengan perlahan/ Menyinari bumi dengan keindahan. Melalui puisi itu, Yamin menampilkan pagi dalam nuansa yang tenang, teriring mentari yang naik perlahan ke belantika langit biru. Sedianya pagi memang harus begitu, mesti dinikmati pelan-pelan. Jangan bangun kesiangan, biar pagi terhindar dari ketergesaan.

Lain dengan pagi, malam dekat pada kegelisahan. Kendati sebetulnya malam bisa lebih tenang ketimbang pagi, seperti kita ketahui. Apakah dengan demikian, kegelisahan boleh disimpulkan sebagai ketenangan yang mendalam? Silakan. Kegelisahan di malam hari bisa kita tangkap dari puisi Nirwan Dewanto, “Setiap Tengah Malam”, yang termuat di buku kumpulan puisi Buli-Buli Lima Kaki (2010: 144).

Sudah tiga musim begini, dan ia tetap saja tak mampu memastikan/ Rangkaian gerbong terbuka yang merayap sopan itu melewati depan/ Ataukah belakang rumahnya. Dan ia berharap si masinis selalu belia. Selain Nirwan, jauh ke belakang, idola aktivis mahasiswa, Soe Hok Gie, memakai malam sebagai latar puisinya. Simaklah puisi Gie yang berjudul “Sebuah Tanya” ini: (hari pun semakin malam/ kulihat semuanya menjadi muram/ wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara/ dalam bahasa yang kita tidak mengerti/ seperti kabut pagi itu). Terasa betul kegelisahan Gie lewat puisi yang ia bikin di tahun yang sama dengan tahun kematiannya itu.

Puisi lain tentang malam yang gelisahnya lebih dalam, karena melibatkan Tuhan, adalah bikinan Motinggo Busye. Dari sajak “Merasuk Malam”, yang dimuat di majalah Horison edisi September 1999, kita bisa membaca kedekatan malam dengan kematian. Saatnya tiba untuk berbisik perlahan/ pada Tuhan/ aku sudah siap, tapi ingin/ tahu/ bilakah saat diriku/ kau ambil/ agar kurasakan nikmat maut menjemput/ dalam terang tanpa berkabut/ dan inilah kata ketika/ aku merasuk dalam malam/ sulit tidur adalah kebiasaan setelah tua/ tapi sungguh tak ada takutku pada maut/ hari-hari ini tiba untuk berbisik perlahan/ membujuk engkau untuk memberitahuku/ soal yang satu itu.

Itu tadi tentang pagi dan malam. Kalau senja? Jangan tanya. Puisi senja melimpah ruah, dari sastrawan kawakan sampai penyair pemula pasti pernah menulis kata senja. Ayo, mengaku saja! Sementara itu ruang bagi siang masih lengang. Belum banyak siang yang mengisi puisi. Percobaan memuisikan siang diamalkan Abdul Hadi W.M. Simak puisinya yang berjudul “Siang” berikut ini: Siang ternyata hanya seorang pejalan jauh/ Di atas kepalanya yang tak pernah teduh/ udara kosong. Dan burung-burung hanya beterbangan.

Puisi tersebut seakan memberi isyarat kenapa siang tak banyak dipuisikan, oleh karena ia hanya seorang pejalan jauh. Siang masih berkelana dalam pencarian akan nuansa dirinya sendiri. Siang berbeda dengan pagi, senja, atau malam yang punya acuan mendefinisikan diri, entah asali maupun terbentuk dari seringnya penyair menyematkan satu kata beberapa kali bagi nuansa yang serupa. Siang seumpama yang Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe sebut dengan empty signifier. Penanda kosong.

****

Puisi, biasa diperluas jadi musikalisasi, lalu menjadi musik itu sendiri. Beberapa musisi lahir dari pergulatan dengan puisi, misalnya Sisir Tanah dan Banda Neira. Lagu-lagu pun akhirnya ketularan tak adil, seperti puisi. Begitu banyak lagu tentang pagi, malam, dan lagi-lagi senja yang paling laris. Pagi misalnya, sudah ditembangkan Naif, Dialog Dini Hari, Silampukau, dan masih banyak lagi. Lalu, yang paling kurang ajar jelas Payung Teduh. Pagi, senja, dan malam disebut-sebut melulu di kedua albumnya. Kecuali siang.

Kehilangan kita akan siang bukan saja terasa dalam puisi dan lagu, meski novel dan cerpen sebetulnya juga begitu. Kehilangan kita akan siang kian menyata di tengah bencana kabut asap di beberapa wilayah negeri ini. Kita tak bisa menyalahkan alam atas bencana kabut asap tersebut, lantaran sebetulnya manusia yang berulah. Manusia mana yang salah, entah. Paling gampang jelas menyalahkan Jokowi, namun lebih baik tidak. Siang di tengah kabut asap kadang bak pagi di pegunungan yang buram, kadang kuning pekatnya seperti senja, kadang pula segelap malam. Siang yang benar-benar siang telah hilang.

Obat untuk menyembuhkan kabut asap salah satunya hujan. Namun, bila penyair saja bisa memuisikan hujan dengan melimpah, tentu bukan hal sulit bagi Tuhan menurunkan hujan, bukan?

Syukurlah, hujan mulai bertandang, meski jarang-jarang, tak perlu menunggu Juni seperti Sapardi, atau menanti Desember tiba seumpama lagu Efek Rumah Kaca. []

Udji Kayang Aditya Supriyanto
Follow Me
Latest posts by Udji Kayang Aditya Supriyanto (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!