Syaikh Abu Ja’far an-Nisaburi

Beliau adalah Ahmad bin Hamdan bin ‘Ali bin Sinan Abu Ja’far an-Nisaburi. Salah satu sufi agung dari Nisapur, Iran. Bersahabat dengan Syaikh Abu ‘Utsman al-Hiri. Pernah menyaksikan Syaikh Abu Hafsh al-Haddad. Beliau wafat pada tahun 311 Hijriah.

Beliau dikenal sebagai seorang sufi yang sangat unggul di bidang rasa takut kepada Allah Ta’ala, di bidang kehati-hatian dalam bertindak dan berperilaku, juga di bidang sikap asketis atau mengambil jarak dari cengkeraman berbagai kesenangan duniawi.

Rasa takut kepada Allah Ta’ala tidak lain merupakan puncak dari makrifat terhadap hadirat-Nya. Di dalam paradigma dan kepustakaan kaum sufi ditegaskan bahwa semakin dekat seseorang secara rohani dengan Tuhan semesta alam, maka dapat dipastikan dia akan menjadi semakin takut kepada Sang Pencipta itu.

Kenapa bisa demikian? Tidak lain karena semakin dekat dan semakin kenal seseorang terhadap Allah Ta’ala, maka dia akan semakin merasakan adanya keagungan dan kemahaan hadirat-Nya yang semakin tidak terjangkau dan semakin tidak terperikan. Karena jelas sekali bahwa Penguasa satu-satunya itu sama sekali tidak bertepi.

Hal itu jelas berbeda dengan “tradisi” yang sering kali berlangsung di antara sesama manusia. Yaitu, semakin akrab seseorang dengan orang lain, maka akan semakin hilang rasa takutnya terhadap orang lain itu. Demikian pula sebaliknya. Bahkan di antara keduanya bisa saling bersikap manja.

Sang sufi juga senantiasa bersikap wara’ atau bersikap sangat hati-hati agar tidak tergelincir bukan saja pada perbuatan-perbuatan yang jelas diharamkan oleh syari’at, tapi juga selalu waspada agar tidak terjerumus pada tindakan-tindakan yang syubhat yang tidak jelas perkara halal dan haramnya.

“Yang halal itu jelas. Yang haram juga jelas. Dan yang ada di antara keduanya itu adalah perkara-perkara syubhat,” sabda Kanjeng Rasul Saw. Jatuh di kubangan perkara syubhat, sangat dikhawatirkan terjerumus ke dalam perkara haram yang dampak getirnya akan begitu terasa sebagai penghambat perjalanan rohani bagi siapa pun yang mengalaminya.

Lebih dari itu, sang sufi juga sedemikian getol menjaga dirinya dari berbagai rayuan dan cengkeraman segala sesuatu yang lain dengan menerapkan sikap asketis di sepanjang hidupnya. Artinya adalah bahwa beliau begitu tegas menjaga jarak antara dirinya dengan segala sesuatu selain Allah Ta’ala.

Efeknya adalah bahwa pada saat yang bersamaan, sang sufi mengalami kedekatan yang tidak tepermanai dengan hadirat-Nya: sebuah kenikmatan yang tidak bisa sepenuhnya diungkapkan dengan kata-kata, dengan musik, dengan tarian, dengan keterbatasan bahasa ungkap apa pun.

Efek berikutnya adalah bahwa segala sesuatu akan senantiasa menawarkan diri kepada beliau sebagai wujud “pengabdian” yang nyata justru pada saat beliau sudah tidak tersentuh oleh adanya sedikit pun ketertarikan kepada segala sesuatu tersebut. Sungguh, betapa sangat menyenangkan sekaligus menakjubkan. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!