Syaikh Muhammad at-Tirmidzi

Beliau adalah Muhammad bin Hamid Abu Bakar at-Tirmidzi. Salah satu sufi agung dari Khurasan. Beliau pernah menyaksikan Syaikh Ahmad bin Khadhrawih dan para sufi yang lain. Tidak ada catatan tempat dan waktu, baik tentang kelahiran maupun wafat beliau.

Beliau adalah seorang sufi yang sangat hati-hati dalam menjaga dirinya sehingga jangankan tergelincir ke lembah-lembah dosa yang kelam, terpuruk ke dalam lubang-lubang kelalaian pun tidak, sama sekali tidak dialaminya. Sehingga di dunia rohani, beliau termasuk orang yang terbilang sangat beruntung.

Dengan tegas beliau pernah menyatakan: “Modal utama rohanimu adalah hati dan waktumu. Apabila engkau telah menyibukkan hatimu dengan berbagai prasangka, berarti engkau telah menyia-nyiakan waktumu dengan hal-ihwal yang tidak bermakna. Barang siapa menyia-nyiakan modal utama rohaninya, maka dia tidak akan memiliki laba.”

Hati dan waktu. Ya, dua poin itu memang merupakan karunia yang sangat besar bila kita sanggup mengelolanya secara ideal. Dengan mengelola dua kenikmatan rohani tersebut, kita bisa mencapai puncak spiritualitas yang menjulang, menggapai martabat yang tinggi dan terpuji, bersanding dengan Tuhan lewat berbagai episode percintaan yang begitu menawan.

Mengelola hati itu tentu saja dengan pertama-tama menjaganya dari berbagai pengaruh kekuatan nafsu amarah yang sedemikian destruktif, sedemikian kelam, sedemikian menggelisahkan. Hati, dengan demikian, tidak boleh tidak mesti senantiasa dipagari dengan rapat-rapat agar menjadi aman dan terlindung dari berbagai serangan dan bahaya bejat nafsu.

Dengan apa kita mesti melindungi hati kita? Ada banyak sarana dzikir yang bisa kita pakai untuk melindungi hati kita. Akan tetapi yang terpenting dari sekian sarana dzikir itu, setidaknya menurut kalkulasi spiritual saya secara pribadi, tidak lain adalah pedang la nafi di dalam kalimat tauhid La ilaha illalLah.

Ungkapan La ilaha illalLah itu tidak boleh hanya berlangsung sekadarnya di permukaan lisan semata. Tapi harus betul-betul terhunjam di kedalaman hati. Dengan ungkapan La ilaha wajib kita pastikan bahwa tidak ada apa pun yang penting, tidak ada apa pun yang harus kita patuhi, tidak ada apa pun yang boleh menguasai kita, dan seterusnya, seterusnya.

Dan dengan ungkapan illalLah kita pastikan dengan sepenuh hati dan kesungguhan bahwa yang berhak terhadap semua itu tidak lain hanyalah Allah Ta’ala semata, hanyalah hadiratNya belaka. Bukan siapa atau apa pun yang lain.

Ketika dzikir paling utama itu telah betul-betul mendarah daging di dalam batin kita, maka hati kita akan senantiasa aman dan terlindungi tidak saja dari berbagai hasrat terhadap dosa-dosa atau pengingkaran, tapi juga dari segala sesuatu yang sia-sia dan tidak bermakna di hadapan hadiratNya.

Di saat itu, hati kita betul-betul berada di tengah benteng perlindungan yang sangat gagah sekaligus kukuh. Pada saat yang bersamaan, waktu yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala kepada kita akan senantiasa bermakna. Sehingga nilai-nilai kemuliaan di dalam kehidupan kita semakin hari menjadi semakin banyak dan menjulang. Dan kita akan menjadi semakin akrab dengan Tuhan semesta alam. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!