Terlampau Paham Bisa Berakibat Hampa

tonykosinec1.bandcamp.com

Dialog Diotima dan Sokrates tentang “tujuan hidup”—sebagaimana dihikayatkan Plato dalam Simposium—membuat saya mengernyit. Begini sarinya:

“Mengapa dia—yang mencintai—mencintai hal-hal yang indah?” tanya Diotima.

“Agar hal-hal indah itu dia miliki,” jawab Sokrates.

“Apa yang akan dia dapatkan dengan memiliki hal-hal yang indah?” lanjut Diotima. “Dia yang mencintai, mencintai hal-hal indah, lantas mengapa dia lalu mencintai hal-hal baik?”

“Agar hal-hal baik itu dia miliki.”

“Apa yang akan dia dapatkan dengan memiliki hal-hal baik?”

“Dia akan menjadi bahagia.”

“Ya,” kata Diotima. “Sebab kebahagiaan adalah sensasi karena memiliki hal-hal yang baik… dan tidak perlu bertanya lebih lanjut tentang untuk tujuan apa dia—ingin menjadi bahagia—menginginkan itu. Jawabannya sudah final.”

Saya mengernyit lantaran merasa “hampa” dengan jawaban Sokrates—atau Plato. “Dunia Ideal” yang dikhotbahkan Sokrates selama hidupnya—di saat masyarakat Yunani Kuno masa itu tidak karib dengannya—memang hanya berhenti pada “langit ideal” belaka. Bahkan di tangannya sendiri. Tidak ada wujud konkretnya.

Jika dikembalikan kepada inti makna filsafat sebagai “cinta kebijaksanaan”, memang bijaksanalah Sokrates dengan dunia idealnya. Tapi, kebijaksanaan itu tak mewujud, tidak membumi. Ia tetap ada di langit sana, jauh dari jangkauan tangan-tangan keseharian. Wajar bila kelompok masyarakat umum yang tidak karib dengan filsafat menuding filsafat “omong kosong” belaka. Dalam konteks kebijaksanaan Sokrates, itu adalah kebijaksanaan omong-kosong.

Atas skepstisisme ini mari maklumi mengapa filsafat kerap ditempatkan sebagai “spekulasi” belaka. Teorinya spekulatif, buahnya tentu juga spekulatif. Lebih telak bila klaim ini disandingkan dengan sains-eksakta yang empiris. Misal tentang prediksi gerhana bulan yang bisa dibaca secara presisi.

“Rapuhnya” pemikiran-pemikiran filsafat sejak era klasik dulu hingga masa kini memang tak lepas dari serbuan pertanyaan paling mendasar manusia tentang hakikat manusia dan kehidupannya. Tetapi justru karena alasan itu pulalah filsafat dianut dan dikembangkan. Puncak serbuan pertanyaan itu kira-kira sesimpel pertanyaan ini: apa tujuan hidup manusia?

 Simpel sebagai pertanyaan, pelik sebagai jawaban.

Di usianya yang telah bau tanah, Leo Tolstoy yang terkenal, kaya raya, dan terhormat meninggalkan rumah karena kecewa sama istrinya yang tidak menyetujui “dunia idealnya” untuk menghibahkan semua kekayaannya. Ia melamun, merenung, berpikir, tentu dengan sangat luas dan ruah perihal apa tujuan hidup ini. Jika karena karya-karya besarnya yang diakui dunia ia menjadi ada, diingat, lantas selebihnya apa? Apakah hanya berhenti sedemikian rupa, lalu mati, punah, begitu saja?

Tolstoy mati di stasiun, menggigil kedinginan dengan meninggalkan banyak sekali karya sastra berkelas dunia, plus 13 anak. Tolstoy tak pernah menemukan jawaban atas kegelisahannya….

Anda yang menyukai filsafat niscaya juga kenal nama Nietzsche. Ia lahir dan tumbuh besar dalam lingkungan keluarga yang sangat patut pada syariat Katolik. Kakek dan bapaknya adalah tokoh agama Katolik yang amat dihormati. Di buku Ecce Homo, misal, Nietzsche menebar kontroversi dengan mengatakan Tuhan telah mati, disebut sebagai ateis radikal, dihujat di mana-mana dan tentu dipuji oleh sebagian lainnya.

Di buku renungannya yang sangat dikagumi akademisi filsafat, Sabda Zarathustra, Nietzsche memperlihatkan diri menjadi sosok yang jumbuh pada kedalaman-kedalaman permenungan. Silakan Anda baca sendiri. Tak ada lagi gejolak radikal yang bertebaran sebagaimana di Ecce Homo –meski tidak berarti Nietzsche lantas menjadi sufi.  Atau, bolehlah saya sebut Nietzsche “menyufi” dalam langgam Kenietzscheannya. Akhir hayatnya, kita tahu, sangat memilukan. Kehilangan seluruh ingatannya, lalu kemampuan bicaranya, dan menggeletak begitu saja di atas kasur hingga kematian menyeretnya pergi dari dunia ini.

Mungkin Anda juga familier sama sosok Ludwig Wittgenstein. Seorang akademisi mapan yang mengaku mengalami depresi luar biasa sepanjang hidupnya. Depresinya tentu saja bukan dipantik oleh hal-hal yang artifisial. Ia seorang yang mapan. Ia depresi diterkam oleh pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang hakikat kehidupan ini.

Meski Wittgenstein kemudian menyatakan bahwa dengan berfilsafatlah ia menerapi gangguan depresinya, kita tetap bisa menjadikannya tamsil tentang pemikir besar dunia yang terganggu oleh nalar pengetahuannya.

Semakin tahu ternyata semakin meresahkan. Semakin banyak paham ternyata semakin lebih banyak lagi yang tidak kita pahami. Kalau dalam ungkapan puisi Joko Pinurbo, itu adalah risiko dari: terlampau paham bisa berakibat hampa.

Apakah usaha memikirkan dan memahami dunia seisinya ini, otomatis kehidupan kita tercakup, adalah semata serupa memasukkan tubuh kita ke dalam suatu jejaring ketidaktahuan, yang bila berhasil disibak satu lapisnya maka telah menunggu sepuluh lapis berikutnya, yang bila sepuluh lapis berikutnya itu berhasil disibak lagi maka telah menunggu seratus lapisan berikutnya, dan terus berikutnya, dan terus berikutnya?

Apakah kita sebaiknya bersepakat saja sama Jean Baudrillard bahwa segalanya menarik selama masih berada di balik tirai? (Coba bayangkan, di balik singkapan satu tirai itu—artinya satu kemenarikannya telah tanggal—berjejal tirai-tirai berikutnya yang lebih menarik, terus demikian tak berbatas).

Ernest Hemingway. Sastrawan dunia yang amat terkenal ini juga mengarungi jejalan tabir memikat yang sekaligus menjeratnya. Ia punya kebiasaan menekur diri di sebuah kafe tua di kota Havana Lama, mungkin untuk menulis dan mungkin pula hanya untuk menghela napas dalam-dalam di hadapan dunia dan kehidupannya yang bertirai-tirai itu.

Lantas jangan alpakan penyair legendaris kita, Chairil Anwar. Ia menjadi satu-satunya penyair yang memulai gaya hidup nomaden di Batavia. Atas nama “Aku ini binatang jalang….” Kejalangan Chairil tentu saja tak patut kita tekuri hanya dalam artian artifisial. Tidak, Chairil sangat karib pada tirai-tirai pemikiran yang melampaui hasrat badaniah itu. Kejalangannya akan lebih produktif ditilik dari ruahan episteme kebebasan yang dianutnya. Ya, buah dari pencarian, permenungan, pergesekan, pemikiran, dan perjalanannya pada bentang luas kehidupan.

Secara sosial, kita tahu, Chairil terasing. Berkali-kali ia dipecundangi “norma sosial”. Pernyataan Ida Nasution yang menolak cinta Chairil Anwar cukup mewakili keadaan itu. “Apa yang bisa diharapkan dari manusia sepertinya (binatang jalang) dalam arti sesungguhnya?”

Atas pilihannya pada “Aku ini binatang jalang…”, Chairil mengalami: “…dari kumpulannya terbuang.

Banjaran kisah hidup para pembesar dunia ini tentu bisa dibikin lebih luas dan panjang lagi. Semuanya berbaris pada usaha keras untuk mendapatkan jawaban: apa tujuan hidup ini?

Mari kita tilik dengan dua pendekatan.

Pertama, pendekatan kemanusiaan.

Semuanya niscaya sepakat bahwa fitrah kemanusiaan universal kita sama: menjunjung marwah kemanusiaan. Sudah, itu puncaknya. Sebut saja HAM. Mau pembela demokrasi yang mengidealkannya sebagai sistem politik yang memberikan kesetaraan hak dan kewajiban kepada semua warga maupun khilafah yang takkan libur menukil kebajikan sosok Umar bin Abdul Aziz dan Salahuddin al-Ayyubi yang berperilaku adil-egaliter kepada semua orang tanpa kecuali, semuanya beraras pada nilai dasar tersebut. Mau orang Prancis, Kuba, Rusia, hingga Indonesia, semuanya menyepakati HAM sebagai entitas paling mendasar bagi tatanan kehidupannya. Mau beragama Islam, Budha, Hindu, hingga sekte-sekte apa pun, semuanya menyatakan diri sebagai pembela kemanusiaan.

Tetapi, faktanya, orientasi kemanusiaan belaka tersebut tak pernah mampu memuaskan pertanyaan “Apa tujuan hidup ini?”

Ternyata, lagi-lagi faktanya, menjadikan nilai kemanusiaan sebagai muara perjalanan hidup ini masih menyisakan kegelisahan dan kehampaan.

Dalam dialog Diotima dan Sokrates di atas, nilai kemanusiaan yang boleh kita sebut “hal-hal baik”, yang dimaksudkan agar dengannya “kita bahagia”, menyisakan pertanyaan mendasar begini: “Apakah kebahagiaan adalah kenyamanan (atau Keindahan) dunia ini?”

Apakah kebahagiaan hanya soal hidup yang singkat di muka bumi ini dan tidak ada lain-lainnya lagi, sebutlah alam ukhrowi?

Dari sinilah pendekatan kedua layak kita refleksikan, yakni pendekatan supra-manusia. Bisa disebut “Adi-Manusia”. Bisa juga disebut supra-rasional, atau spiritual.

Kita hari ini bisa saja mentertawakan fatwa filosofis-spekulatif  Thales sebelum era Sokrates yang di antaranya menyatakan bahwa manusia yang baik akan bereinkarnasi menjadi manusia lagi dan manusia jahat akan bereinkarnasi menjadi tikus. Ada larangan besar yang harus dihindari manusia agar tak bereinkarnasi jadi tikus, yakni memakan buncis. Jadi, buncis dapatlah dinyatakan sebagai indikator kejahatan.

Di masanya, spekulasi filosofis Thales demikian jelas bukanlah bahan tertawaan. Ia sosok guru, punya jamaah. Lupakan soal buncis itu, mari fokus pada “pencarian jawaban pasca kematian”. Ini signifikansinya.

Kita kini memiliki pertanyaan-pertanyaan yang sama saja dengan apa yang sudah dihadapi Thales dan Sokrates. Kita semua sangat ingin mendapatkan jawaban yang meyakinkan, memuaskan, dengan tujuan menenangkan batin kita. Ya, batin!

Bagaimana mungkin kita menyingkirkan dimensi batiniah pada diri kita?

Rasionalisme yang berusaha keras mencampakkannya atas nama paripurna akal budi tak pernah mampu memuaskan geliat batin itu sendiri. Batin selalu ada, memang ada, dan tak bisa diabaikan begitu saja lantaran klaim tidak logisnya.

Sigmund Freud pernah berusaha membangun teori yang paling meyakinkan tentang peristiwa mimpi. Ia menyatakan mimpi sebagai “ungkapan alam bawah sadar manusia” yang menyimpan rekaman atas peristiwa-peristiwa alam sadar. Apa-apa yang terjadi pada kehidupan nyata kita terekam di alam bawah sadar kita (dalam pengertian umum bisa disebut batin) lalu kerap mencuat dalam wujud mimpi.

Mimpi bekerja dalam pola demikian menurut Freud. Lepas dari simplifikasinya, kita memahami bahwa teori tafsir mimpi Freud tersebut menjadi bagian dari usaha jawaban rasional kepada alam nonlahiriah manusia: psikologi atau alam batin.

Victor E. Frankl dengan lebih gamblang menyebut alam batin mengandung “spiritualitas ketaksadaran”—suatu keyakinan spiritual yang secara psikologis menancap di dalam jiwa, sangat dalam, dan memengaruhi alam pikir dan tindakan. Ia ada, bersifat spiritual (jangan terburu menyebutnya agama, cukupkan dulu pada hal-hal yang batiniah), dan menancap secara alamiah begitu saja di dalam psikologi manusia—maka dinyatakan “ketidaksadaran”.

Dikarenakan alam batiniah ini benar-benar ada, nyata, dengan bukti-bukti empiris berupa pengaruh kepada alam pikiran dan tindakan, maka seyogianya dari titik ini pulalah kita jemawa mengakui bahwa di sebelah alam rasionalitas memang bersemayam dengan sungguh-sungguh alam batiniah yang bermuatan nilai-nilai spiritualitas yang (lebih banyak) tak ternalar.

Peta “sakral” dan “profan” pada manusia tribal, misal, sebagaimana diwedarkan Mircea Eliade, mendudukkan dua sisi manusia itu secara jelas. Sesederhana apa pun pola kehidupan manusia tribal, mereka meyakini secara batiniah adanya kuasa-spiritual di luar dirinya yang mampu mengisi alam batin dirinya, itulah “Yang Sakral”. Ia harus ada, maka harus diyakini, demi menambal lubang batin yang tak terjawab oleh rasionalitas. Skema “totem dan taboo” ala Emile Durkheim bisa dijadikan contoh nyata bagi realitas sakral dan profan tersebut.

Di era modern, kita menyebut spiritualitas sebagai agama. Organized religion, inilah bentuk paling nyatanya. Kita lalu memeluk agama-agama sebagai usaha mendulang asupan pada dimensi spiritualitas kita, batiniah kita. Kita lalu menjalankan segala ajaran dan ritual agama yang kita anut dengan penuh keyakinan akan kekudusan dan kebenarannya.

Orang Islam rela “membuang banyak uang” untuk memutari bangunan Ka’bah di Mekkah sebanyak tujuh kali, lalu bolak-balik antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali yang total jelajahnya berkisar 4,2 kilometer, lalu menggunting sebagian rambut sebagai pamungkasnya.

Orang Hindu rela meninggalkan semua aktivitasnya, termasuk sekadar menyalakan lampu di malam hari, pada saat Hari Raya Nyepi. Penerbangan di bandara Denpasar yang amat sesak rela distop penuh selama 24 jam.

Orang Kristen rela meluangkan waktu saban Minggu paginya untuk berkumpul di gereja dan mendendangkan lagu-lagu pujian kudus dengan penuh khusyuk dan tenang.

Orang Toraja rela mengorbankan puluhan kerbau demi memberikan penghormatan yang tinggi kepada kerabatnya yang meninggal agar selamat di perjalanan berikutnya.

Orang Madura rela dijejali kesibukan selama tujuh hari penuh sepeninggal kerabatnya dengan menyiapkan berbagai suguhan yang sederhana hingga mewah demi bersama-sama menguarkan doa keselamatan bagi almarhum yang dicintainya.

Dan sebagainya, dan seterusnya.

Jika di titik ini kita mengajukan pertanyaan kritis-filosofis: apakah semua bentuk kerelaan yang tidak rasional itu benar-benar benar atau hanya spekulasi yang dilembagakan oleh agama, maka jawabannya memang tidak memiliki kepastian empiris-santifik. Kita makanya lantas “sekadar” bisa mengimaninya benar. Tetapi justru melalui cara sederhana inilah buah batin diberikan secara berbeda oleh agama kepada mereka yang meyakininya dengan mereka yang tidak.

Dengan kata lain, jika Anda tidak percaya pada kebenaran agama, sebutlah karena Anda memandang keimanan agama sebagai ilusi-irasional, konsekuensinya Anda akan terus hidup dalam jejalan pertanyaan tak berkesudahan yang potensial membuat Anda lelah, bingung, skeptis, bahkan depresif-simplifikatif. Anda pada akhirnya hanya akan menyerah pada depresi-simplifikatif sejenis the survival of the fittest: bahwa hidup ini hanya untuk hidup sebelum kemudian mati. Begitu saja. Anda yang manusia lantas menjadi sulit dibedakan dengan makna hidup sapi, juga buncis.

Sekali lagi, jika Anda memilih menolak agama (bisa dibaca spiritualitas, batiniah) dengan alasan rasional apa pun, tepat saat itu jugalah Anda mengingkari geliat batin sendiri yang amat nyata adanya, rasanya, dampaknya. Tentu itu hak Anda sebagai manusia pure-rasional, toh Anda sudah tahu konsekuensi langsungnya: kehampaan, tak punya tujuan besar dalam hidup ini selain survival of the fittest.

Di hadapan Anda yang mustahil menampik geliat batin itu, agama “menjanjikan” menu-menu supra-rasional yang tak keseluruhannya bisa dijelaskan oleh nalar logis. Dibangkitkan dari kematian, lalu kehidupan akhirat, hingga surga-neraka, semua itu menjadi menu-menu suprarasional agama yang hanya akan membuat Anda makin limbung jika terus memaksakan diri untuk merasionalisaskannya.

Boleh jadi ada yang lantas mengolok-olok pemeluk agama sebagai kaum halusionis, ilusionis, pengimpi yang malang, dan sebagainya. Apa pun sebutan skeptis pada para pemeluk agama, faktanya mereka mengantongi “kelebihan” dibanding para pengolok itu, yakni jawaban jelas yang diyakini kebenarannya terhadap “Apa tujuan hidup ini?”. Karena memiliki jawaban jelas yang diyakini benar, meski tak bisa dijabarkan secara rasional, logis saja bila mereka bisa hidup dengan lebih punya arah.

Maka, jika dikembalikan kepada dialog Diotima dan Sokrates yang berpuncak pada “agar bisa bahagia dengan memiliki hal-hal baik”, agama memberikan jawaban lebih maju dan meyakinkan, yakni keimanan. Melalui iman pada suatu agama, otomatis beserta muatan ajarannya soal tujuan hidup manusia di dunia dan pasca kematian (akhirat), kita bukan hanya telah menyelesaikan hal-hal yang tak bisa kita jawab secara rasional sejak dahulu kala (ingat, mengimani sesuatu sebagai A, misal, otomatis tak lagi menyisakan soal tentangnya), tetapi sekaligus memberikan arah atau tujuan kepada perjalanan hidup kita.

Catat baik-baik, tujuan perjalanan hidup ini.

Anda bayangkan begini saja. Suatu hari Anda menyimpan keinginan untuk pergi ke Jakarta. Itu tujuan Anda. Maka Anda lalu mulai menabung dan merencanakan waktu yang tepat untuk mencapai tujuan itu. Di suatu hari berikutnya, Anda benar-benar berhasil menempuh perjalanan ke Jakarta. Hati Anda senang. Tujuan yang Anda buat dalam hidup terwujud.

Tetapi Anda lantas hanya bisa diam menekur di Stasiun Senen lantaran setelah tiba di Jakarta Anda tak tahu mau ke mana. Anda tak punya arah atau tujuan apa pun di Jakarta. Anda niscaya lalu dilumat gelisah, resah, hampa.

Bayangkan bila Anda berada di posisi demikian dalam mengarungi hidup ini. Ya, hidup ini!

Bila Anda mengarungi hidup ini hanya dalam mekanisme the survival of the fittest, sebutlah bekerja, makan, beranak-pinak, lalu berikutnya apa? Usai memenuhi semua tujuan sederhana itu, lalu apa? Boleh tambahkan bahwa tujuan hidup Anda juga adalah menegakkan etika sosial dan HAM, tetapi lalu berikutnya apa?

Semua “berikutnya apa” itu meniscayakan kegelisahan, kehampaan, disorientasi. Alam Batin kita sangat membutuhkan alasan-alasan besar berskala supra-rasional, dan itu hanya bisa diberikan oleh keimanan pada jagat spiritualitas, agama. Alasan-alasan atau landasan-landasan itulah yang akan memberikan arah dan tujuan besar bagi kehidupan kita—di atas alasan-alasan lahiriah macam siklus hidup yang juga dilakoni sapi dan ayam.

Karena kita manusia yang berakal dan berbatin, kita otomatis tak pernah rela untuk hanya menyejajarkan hidup kita dengan para binatang yang tak berakal dan berbatin itu. Kita menuntut lebih, menginginkan lebih, dan itu hanya bisa dipuaskan oleh spiritualitas. Dan untuk berhasil memilikinya, cukup penuhi satu syarat: mengimaninya.

Saya lantas memahami sekali mengapa misal dalam setiap khotbah Jum’at, sang khatib selalu menguntaikan kalimat sejenis ini: “Syukur alhamdulillah atas segala nikmat iman dan Islam buat kita semua….”

Ya! Ini bukan ungkapan tiada makna. Dalam konteks memiliki arah dan tujuan hidup dan memiliki landasan-landasan jelas perihalnya, beriman kepada Islam (saya tak bermaksud menegasi iman kepada agama-agama lain) menjadi jawaban paripurna yang memang sangat kita butuhkan dan memang mesti kita syukuri untuk keberadaannya di dalam jiwa kita. Beriman kepada Islam menjadi pemuas batin atas runyakan kegelisahan yang bertapa sejak dahulu kala di dalam jiwa kita tentang “Apa tujuan hidup ini?”.

Jika kita telah memiliki iman itu di dalam dada, jangan rusak kualitasnya dengan menjejalkan jubelan pertanyaan yang Anda tahu takkan jelas muaranya, sebab itu hanya akan menjadikan hidup Anda kembali hampa. Lebih baik hindarkanlah membiarkan diri terbunuh pelan-pelan oleh kesombongan terbesar dalam diri, yakni enggan mengaku kepada diri sendiri bahwa akal tak mampu menjelaskan segala hal dalam hidup ini.

Benarlah Joko Pinurbo, pada hal-hal besar demikian, terlampau paham bisa berakibat hampa.

Jogja, 12 Agustus 2017

Edi AH Iyubenu

Comments

  1. Ewt Yuli Reply

    Love it. Alhamdulillah 😊👍

  2. Andini Oktarani Tria Rahma Reply

    sukses membuat saya ngefans! (sama tulisannya). saya juga bertanya ‘apa tujuan hidup di dunia ini’… sejak SD 😀 alhamdulillah sekarang sudah memahami sedikit (tidak berani bilang banyak). sangat senang kalau om berkunjung ke blog saya https://masandini.blogspot.co.id

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!