“Tuhan Tidak Mati, Tapi Nganggur”

picsart.com

Di salah satu dinding toilet di Universitas Hawaii, ada tulisan: “God is dead.” Di bawahnya, ada tulisan lain yang pasti dituliskan oleh orang yang lain pula: “God is not dead, but unemployed.”

Saya terkekeh membaca tuturan Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan ini. Masuk akal sekali “jawaban” atas coretan ateistis ala Nietzsche itu: Tuhan tidak mati, tapi nganggur.

Tentu saja, karena saya manusia religius, kekehan saya itu tak lebih dari satire atas realitas keberagamaan kita yang makin menyebalkan dalam konteks keragamannya yang mestinya merayakan toleransi, moderasi, dan keterbukaan. Penghujatan, makian, hinaan, pelecehan, penistaan, kriminalisasi, hingga bentuk-bentuk terarogan yang sungguh memilukan dan tak terbayangkan sanggup dilakukan manusia (beragama lagi) macam tudingan sesat, kafir, dan ahli neraka, merupakan berbanjar-banjar problem serius konstruksi keberagamaan dalam keberagamaan kita.

Secara hakiki, semua kita maklum semaklum-maklumnya bahwa kita semua adalah manusia belaka. Perasaan terbatas, sementara, dan lemah vis-à-vis harapan, impian, dan kehendak pada kebahagiaan dan keabadian lalu menjadi “titik dorong” paling mendasar bagi pencarian dan pilihan kita meyakini “Yang Maha Kuasa”—berikutnya beragama dalam konteks modern. Tanpa perasaan-perasaan demikian, agama secara rasional memang tidak memiliki alasan untuk diyakini, dianut, dan dirayakan ritual-ritualnya. Kaum ateis dan agnostik saya kira berada di skala sejenis itu.

Dalam Islam, misal, apa gunanya kita shalat dalam bentuk-bentuk gerakan sedemikian rupa bila di dalamnya tidak ada “perasaan sacralized”? Begitupun pada Kristen dengan misa dan kebaktian; Hindu dengan Nyepi; dan segala bentuk keyakinan dan ritual yang dikenal dan dianut manusia sepanjang sejarah.

Inilah bangunan-bangunan teologis yang kita genggam dan kembangkan selama ini. Teologi adalah follow up konseptual terhadap hasrat-hasrat mendasar manusia itu.

Agama Kristen, umpama, pada awal kelahirannya menyerukan gerakan “kesamaan derajat manusia”, tanpa kecuali. Wajar bila kaum budak dan lemah yang merindukan perlakuan-perlakuan adil berbondong-bondong menjadi penganut utamanya. Ia terus berkembang luas ke Eropa dan Amerika, hingga kemudian juga dianut oleh kaum bangsawan, elite politik, dan para kaya raya. Jadilah kemudian ia suatu “tatanan teologis” bagi masyarakatnya—kemudian muncul sederet “penyimpangan” atau “politisasi” yang dilekatkan oleh sekelompok eksklusif pemangku kepentingan.

Agama Islam juga tak jauh-jauh hikayatnya. Risalah kenabian yang mewariskan kitab suci al-Qur’an dan hadits-hadits sebagai bangunan awal teologi Islam berkembang sedemikian dinamisnya dalam paket-paket kepentingan umatnya yang majemuk. Terjadilah misal Perang Shiffin (657 M), perang saudara pertama dalam Islam, antara khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan yang memakan korban sekitar 80.000 orang dari kedua belah pihak. Pihak Ali bin Abi Thalib yang dipimpin panglima Asytar al-Nakhi memandang secara teologis bahwa pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan yang dipimpin panglima Amru bin Ash adalah pengkhianat, pembangkang (bughat) karena tidak mau berbaiat kepada kekhalifahan Ali bin Abi Thalib; pihak Muawiyah bin Abi Sufyan memandang secara teologis bahwa kubu Ali bin Abi Thalib tidak adil menegakkan qishash kepada pembunuh saudara sepupu Muawiyah bin Abi Sufyan, Ustman bin Affan (khalifah ketiga), sehingga hukumnya tidak ada kewajiban taat kepadanya.

Begitu seterusnya sejarah peradaban Islam berdenyar dari Perang Shiffin yang meletuskan perpecahan di kubu Ali bin Abi Thalib (Syiah dan Khawarij), lalu berdirinya Dinasti Umayyah, kemudian ditumbangkan dengan penuh tragedi oleh Dinasti Abbasiyah, Dinasti Mamluk, hingga Dinasti Ustmani di Turki, dan terus ke masa kita dengan gaya nation-state. Semuanya menciptakan dan mengembangkan bangunan-bangunan teologis yang disahihkan, dipublikkan, di-mainstream-kan. Tentunya, disokong oleh para penguasa, cerdik pandai, dan pemegang simpul-simpul sosial-ekonomi.

Sampai di sini, terang sekali betapa bangunan-bangunan teologis dalam setiap agama, setiap iman, tidaklah sesimpel kita mengatakan “Islam murni”, “salafush shalih”, dan sejenisnya. Teologi-teologi dalam Islam saja, misal, adalah perpaduan dan pertarungan begitu banyak pandangan, pemahaman, kepentingan, dan tentu sesak eksploitasi sekaligus eksplorasi. Ada sisi yang bombastik; ada sisi yang reduktif.

Lalu di manakah gerangan kemurnian ajarannya?

Di tangan Allah semata.

Manusia-manusia muslim beserta sederet bangunan teologisnya, faktanya, sama sekali bukanlah representasi Tuhan, Allah, melainkan sekadar “serpihan-serpihan pemikiran dan kepentingan” yang ditumpukan kepadaNya; mengonstruksikan diri sebagai Dia.

“Serpihan-serpihan Tuhan” itu, yang harusnya secara ontologis beraras pada semata kebaikan dan kemuliaan sebab Tuhan adalah Maha Baik dan Maha Mulia dan semua kitab suci belaka mengajarkan kebaikan dan kemuliaan, dalam kenyataannya lebih sering berdenyar kontraproduktif melalui ekspresi-ekspresi teologis yang bertentangan dengan khittah sifat-sifat kasih sayang Tuhan. Bangunan teologis menjadi berpaling muka pada khittah kelahirannya sendiri.

Tentu, bukan salah Tuhan atau ajaran asalinya, melainkan eksploitasi para penganutnya, elite agamawannya yang berkongsi dengan kelompok-kelompok penguasa politik dan ekonominya, yang paling bertanggung jawab kepada anomali tersebut. Dari sinilah lalu muncul kemuakan-kemuakan kritis kepada agama-agama. Misal, fatwa Karl Marx bahwa agama itu candu atau Sigmund Freud bahwa agama adalah ilusi akibat gangguan neurosis atau Nietzsche melalui Nihilismenya bahwa Tuhan telah mati. Juga “iman tanpa agama” yang digaungkan John Naisbitt dan Patricia Aburdene di tahun 2000.

Tuhan pun menjadi nganggur belaka dalam situasi demikian, bukan?

Nganggur dalam konteks ini bukanlah saya maksudkan sebagai disorientasi layaknya seorang jobless  yang tak tahu mesti mengerjakan apa—sebab Tuhan dalam kitab suci tegas menyatakan “tidak butuh manusia; tidak terpengaruhi oleh beriman/kafirnya dan beribadah/ingkarnya manusia”. Tuhan tentu saja bisa sekali untuk abai pada semua keadaan kontraproduktif yang ditakbirkan manusia-manusia yang mengatasnamakan namaNya. Tuhan bebas saja misal untuk terbahak-bahak menyaksikan humor-humor keji yang dipanggungkan manusia-manusia yang mengaku hamba-hambaNya.

Namanya serpihan, bagaimanapun, sudah pasti sifatnya beririsan belaka, tidak mencerminkan suatu keutuhan, apalagi mewakili. Celakanya, antaririsan itu lebih doyan saling menabrak dan menegasi demi mendapat panggung.

Sungguh ini situasi yang amat lucu: mengaku wakil Tuhan, kebenaranNya, dan jalan menuju surgaNya, padahal asalinya hanyalah “bangunan teologis” yang niscaya berwatak perseptual, interpretatif, bahkan hipotesis—yang antarmereka dikobarkan dengan genderang jatuh-menjatuhkan, sesat-menyesatkan, kafir-mengafirkan.

Dengan satire, coretan di dinding toilet itu (Tuhan tak mati, tapi nganggur) aslinya menggelitiki cermin riil keberagamaan kita dewasa ini. Gaya berteologi semua kita yang berwatak hegemoni dan negasi kepada bangunan-bangunan teologi lain—jangankan lain agama, sesama agama pun sama teganya—telah menyebabkan Tuhan menjadi sepenuh-penuhnya nganggur!

Bagaimana tidak nganggur?

Di saat Tuhan menyerukan “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”; “kalian adalah umat terbaik kepada semua manusia yang mengajak kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran”; “dan tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan”; “jika kalian dimuliakan dengan suatu kemuliaan maka balaslah kemuliaan itu dengan kemuliaan yang lebih baik lagi”; “berlomba-lombalah dalam kebaikan”; “sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa”; “siapa yang membunuh (menyakiti) satu orang maka sungguh ia bagai membunuh (menyakiti) manusia sedunia”; di detik yang sama kita mengibarkan panji kebenaran teologi kita sembari menginjak bendera kebenaran teologi orang lain. Saya bersama iman dan pandangan saya adalah benar—Anda bersama iman dan pandangan Anda adalah salah; ikutlah ke dalam kelompok saya agar Anda selamat di dunia dan akhirat—sesuai tuntunan Allah dan rasulNya.

Maka logika lanjutannya jadi begini: buat apa lagi Tuhan mengurusi manusia-manusia (termasuk saya dan Anda) yang mengaku membelaNya mati-matian tetapi ekspresi-ekspresi dan tindakan-tindakannya secara esensial bertentangan dengan sifat Maha Pengasih dan Maha PenyayangNya?

Bukankah semua itu adalah cermin dari kebebalan yang kaffah: mengaku baik padahal bejat; mengaku berakhlak padahal blangsak; mengaku beradab padahal biadab?

Di saat kita memuja Tuhan, kerap sekali, di waktu yang sama kita tidak memperlihatkan kemuliaanNya. Sifat-sifat adiluhung Tuhan kita anomalikan dengan narasi-narasi yang tiada guna lagi.

Kebaikan-kebaikan Tuhan menjadi nganggur di tangan kita, bukan?

Jakarta, 14 April 2017

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!