Membaca derasnya sedulur-sedulur membela humanisme para terpidana mati narkoba, saya kok serentak teringat Mbah Sigmund Freud. Izinkan saya bertawasul dulu padanya. Khusushan ila ruhi Sigmund Freud, al-Faatihah.
Jauh sebelum mencetuskan Oedipus Complex (id, ego, superego) yang diilhami drama Sophecles, Oedipus Rex, Freud mengatakan dalam Civilization and Its Discontents bahwa jiwa kita selalu memiliki dua dimensi: psikologi kenyataan dan kesenangan. Keduanya taut-kelindan, dalam posisi relasi prinsip kenyataan sebagai “syarat esensial” prinsip kesenangan. Ringkasnya, kita akan meraih kesenangan bila syarat esensial kenyataan-kenyataannya selaras dengan hasrat kesenangan itu. Demikian sebaliknya.
Dalam contoh yang amat mengharukan, seorang jomblo akan senang bagai Don Juan bila yang dibribiki memberikan respons positif sebagai syarat esensial pemenuhan kenyataannya. Bila diabaikan, ia kian nestapa-hina-dina. Itulah sebabnya semua kita rela melakukan apa saja demi menghasilkan syarat esensial kenyataan itu. Misal, utang ke sana-sini demi ntraktiri gebetannya meski batinnya curiga hanya dimanfaatin.
Sebagai manusia bernurani, jelas terlalu bedebah bila ada di antara kita yang berzumba di atas kematian para terpidana eksekusi mati itu. Jelas, itu menandakan split personality yang amat serius di dalam jiwa kita; kekacauan relasi-hierarkis antara prinsip kesenangan dan kenyataan itu. Kita pun makanya lalu merayakan harapan baru atas ditundanya eksekusi mati Mary Jane. Selain karena ada novum dari Filipina di detik akhir eksekusi itu, Presiden Jokowi mungkin saja tergugah setelah membaca tulisan-tulisan Arman Dhani dan Edward S. Kennedy.
Tetapi, sebentar… sebentar. Sembari mengingatkan Dek Safitri untuk wawas diri atas ancaman newbie Victory Angels, mari kita ulik relasi kematian dan keadilan. Peter Beilharz (2005) mengkritisi Freud tentang masalah kematian dan kesenangan ini sebagai “hasrat yang berseberangan”: dua model dasar terpenting di alam semesta ini, yakni kreasi (baca: kehidupan) dan destruksi (baca: kematian).
Segala argumen HAM yang kita pentaskan untuk menolak eksekusi mati niscaya selalu bersumber dari watak kreasi itu. Argumen-argumen pembantah yang kita bangun itu—mulai soal hukuman mati tak memberikan efek jera, aparat hukum bisa lalai, tidak bisa diadakan rehabilitasi nyawa, hingga seruan spiritual untuk memberikan kesempatan taubat—memperlihatkan posisi instingtif kita semua untuk menolak destruksi. Kita memimpikan kreasi terus mendominasi, secara kultural maupun struktural.
Mungkinkah impian ini selalu menjura? Kata WS Rendra, tak semua niat baik bisa berlaga.
Tersebutlah apa yang di sisi lain juga menjadi impian terdalam setiap kita, bagian dari watak azali kreasi semesta itu, menegakkan keadilan demi menolak destruksi. Bahkan semua kitab suci dan local wisdom senantiasa meletakkan ajaran keadilan sebagai jantungnya.
Kita pasti percaya bahwa nurani kemanusiaan kita takkan pernah menolak impian ini. Masalahnya, keadilan menurut siapa dan bagi siapa?
Bagai “benang kusut” setiap kita terbentur pada spektrum subjektivitas beginian. Saya adalah subjek, Anda adalah subjek, dan beliaunya adalah subjek. Ada tumpukan subjek yang meliliti setiap denyut hidup kolektif kita, yang kemudian kita mengerti harus diobjektivikasikan agar tidak memantik kisruh. Agar menggawangi keadilan bersama.
Slogan-slogan macam “keterbatasan dalam kebebasan”, “keadilan dalam ketidakadilan”, hingga “kebahagiaan dalam kejombloan” merupakan sederet bukti sederhana bahwa objektivitas kita ini sejatinya hanyalah “kumpulan subjektivitas yang mengobjektivikasi”.
Haduuh, kayak kuliah aja, wes ngene wae, Dab.
Intinya, kau bisa berbuat adil pada seseorang, tetapi di waktu yang sama kau ternyata juga berbuat tidak adil pada seseorang lainnya. Inilah argumen paling glamor kaum Hawa untuk menolak poligami. Ngok!
Kau bisa menyenangkan hati orang lain kini, meski di waktu yang sama kau sedang melukai hati orang lain juga. Ehm, setamsil pisau bermata dua. Kata megaseleb Facebook, Iqbal Aji Daryono, “Tuhan telah menciptakan kopi sebagai anugerah terbaik hidup kita, tetapi mengapa masih ada yang merasa sepi?”
Karena kita mengerti subjektif-objektif ini harus didamaikan, maka kita lantas membentuk komunitas, masyarakat, hingga negara demi mendamaikan potensi benturan kepentingan keadilan antarsubjek itu. Kita pun menciptakan aturan, hukum, undang-undang, yang harus kita hormati. Dalam masyarakat yang paling primitif sekalipun, sebutlah totem dan taboo untuk suku Aborigin, dibuatlah “lembaga kolektif” untuk mengemban keragaman subjek-kolektif itu.
Tentu saja, di negara hukum kita ini, presiden dan seluruh stakeholder yang membantunya, menjadikan mandat konstitusional itu sebagai acuan kerjanya. Bagaimanapun hasilnya kemudian.
Jika Anda ketiban sebuah perkara, maka Anda harus rela mengikuti seluruh prosedur legal-formal peradilan yang ada. Dari level pengadilan pertama, tinggi, kasasi, hingga PK. Soal hasilnya tidak memuaskan Anda, jelas Anda berhak untuk menangis, menjerit, dan memprotes ini-itu. Tetapi hasil akhir vonis legal-formal itu, kan, ya tak pernah bisa Anda hindari, sebagai buah lembaga kolektivitas-subjektif kita yang memiliki “kekuatan memaksa”.
Bagaimana bila “buah lembaga kolektivitas-subjektif” itu ternyata tidak adil?
Nah, ini kembali lagi kepada debat awal yang saya sebut “benang kusut” tadi. Nggak bakal ada habisnya. Jadi sumonggokke saja mau menjerit gimana juga, buah lembaga legal-formal itu takkan mengindahkannya. Kita hanya perlu memahami bahwa hidup ini memang takkan selalu menyenangkan hati kita, sebab hidup juga harus mengayomi hati-hati yang lain yang juga sama berhaknya dengan hati kita untuk disenangkan oleh semesta.
Oh, tidak, jangan terlalu romantis kayak abegeh-lah dengan mengklaim bahwa stakeholder lembaga-lembaga peradilan itu anti-HAM, haus darah, atau penjagal maniak sakit jiwa. Itu kan hanya katamu.
Ingat, mereka hanya menjalankan tugas lho. Tugas yang diberikan oleh negara berdasar undang-undang yang diciptakan oleh wakil-wakil kita sendiri. Maka jika Anda tak setuju eksekusi mati terhadap pengedar narkoba, misal, Anda jangan beralamat palsu macam Ayu Tinting dengan memaki-maki kejaksaan atau presiden, tetapi ubahlah undang-undang yang menjadi landasan legal-formal para stakeholder peradilan itu.
Kita yang berada di luar lingkaran korban-korban bedebahnya narkoba, yang tak pernah memiliki anak, saudara, dan sahabat yang hidupnya hancur lebur karenanya, memang akan gampang bermurah hati mereaksi keras kematian di ujung bedil itu. Dengan urat leher menegang. Sebaliknya, kita yang memiliki sanak tercinta yang menjadi tumbal narkoba, akan bermurah hati juga untuk menuntut eksekusi secepatnya dilakukan. Dengan urat leher menegang pula.
Dua kepentingan subjektif ini ya akan selalu berduel, yang pilunya sama-sama mengacu pada pandangan Freud tadi: menjunjung prinsip kreasi dan menolak prinsip destruksi.
Presiden Jokowi akhirnya hanyalah “the right man in the wrong place” di mata pembela terpidana mati yang memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan itu dan “the right man in the right place” di mata keluarga korban narkoba yang juga memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan itu.
Hayo, jika Anda sedang Jokowi, keadilan dan kemanusiaan bertajwid Pancasila manakah yang akan Anda junjung?
Pusing tujuh keliling, kan?
Makanya, maklumin bila Jokowi lalu memilih senyam-senyum saja, bukan karena ia tidak mengerti perasaan para terpidana mati itu, tetapi karena ia presiden.
Kelak, jika Anda semua menjadi presiden, Anda pasti tahu kok cara mudah senyam-senyum itu.
Sumber gambar: okezone.com
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019