Pada abad XXI, binatang itu masih musuh terbesar. Predikat terhubung ke masa lalu setelah “pembaptisan” Batavia (1619) untuk ruang perdagangan dan kekuasaan orang-orang asal Belanda. Mereka memilih untung di Batavia tapi harus mati mengenaskan pada tahun-tahun tanpa keselamatan atau kesembuhan. Pada abad XVII, jumlah orang Eropa semakin berkurang, setelah terkapar dan dikuburkan gara-gara binatang kecil. Kota itu “dikuasai” nyamuk! Kematian mencipta roman paling ironi. Kematian lantaran gigitan nyamuk.
Dulu, nyamuk ada tapi belum dimengerti sebagai musuh terbesar di Batavia. Kota itu sakit parah tanpa diketahui pelaku dari drama maut. Pada 1773, wabah mematikan ribuan orang Belanda. Kota jadi mematikan. Penghuni Batavia terlambah mengetahui bahwa keberadaan rawa-rawa menjadi sumber keganasan laskar nyamuk. Ribuan sampai jutaan nyamuk mengigit tubuh-tubuh ribuan orang berkulit putih asal Belanda. Gigitan pun mematikan. Drama itu perlahan memiliki nama: malaria. Sejarah Batavia, sejarah kematian dengan momok bernama nyamuk (Peter H van der Brug, Batavia yang Tidak Sehat dan Kemerosotan VOC Pada Abad XVII, 2007).
Sejarah teringat melintasi ratusan tahun. Di Tempo, 29 Februari 2004, Indonesia diingatkan pada nyamuk. Sejak sampul dan halaman opini, redaksi sengaja menokohkan nyamuk sebagai penebar derita di Indonesia. Di sampul, gambar nyamuk. Di opini, kita membaca: “Penularan DBD (demam berdarah dengue) terjadi melalui gigitan nyamuk jenis tertentu. Nyamuk ini menularkan virus–jenis arbovirus, yaitu virus yang dibawa serangga–ke tubuh manusia.” Gigitan mematikan dan mencipta takut kolosal seantero Indonesia. Heboh itu kentara di kartun garapan Prijanto S. Nyamuk mengabarkan kematian! Ia ditampilkan seram dan memberi seribu takut ke manusia.
Pada abad XXI, nyamuk tak mau mengenali atau mengasihani korban. Pada 2004, keluarga Garin Nugroho pun kena gigitan nyamuk. Mereka menderita sekian hari. Laskar nyamuk seperti abai dampak gigitan ke keluarga sutradara film ampuh pernah mengerjakan Daun di Atas Bantal. Barangkali kasus itu gagal menimbulkan marah dengan pembuatan film berjudul Nyamuk di Luar Kelambu. Nyamuk di sejarah derita Batavia berlanjut ke peringatan atas kerja pemerintah untuk melindungi jutaan orang dari gigitan sering berakhir ke kematian. Edisi majalah Tempo itu dokumentasi petaka nyamuk masih berlaku pada abad XXI. Redaksi malah berani memberi judul di sampul: “Musuh dalam Selimut.”
* * *
Pada masa lalu, bocah-bocah di desa diajarkan untuk berlindung dari gigitan nyamuk dengan cara-cara sederhana. Mereka mengambil onthel–onthel berjatuhan dari pohon di kebun. Onthel dikeringkan agar bisa dibakar pada saat malam. Pembakaran onthel biasa menemani bocah-bocah belajar. Konon, pengusir nyamuk dari pohon ber-onthel itu pengiritan bagi keluarga miskin sulit membuat anggaran membeli obat nyamuk. Dulu, mereka sering gagal membeli pengusir nyamuk dengan merek-merek terkenang. Obat nyamuk itu berwarna hijau. Di ujung, pembakaran terjadi untuk merambat secara melingkar. Obat nyamuk bakar itu dianggap mujarab mengusir atau membunuh nyamuk berkeliaran di dalam rumah. Orang-orang harus betah bau ketimbang mampus oleh gigitan-gigitan kejam dan suara merusak telinga.
Di mata bocah-bocah, sisa bakaran bisa digunakan untuk mencipta permainan berisiko. Permainan berapi dan menjadikan kertas bolong-bolong menghasilkan tampilan memukau. Di kalangan guru, obat nyamuk bakar itu memiliki faedah sampingan: digunakan untuk melubangi lembar jawab a b c d. Pembolongan praktis dan estetis. Taktik mengoreksi jawaban ratusan murid dengan cara mencoretkan bolpen ke lubang-lubang di atas lembaran jawaban murid. Kita sulit melupa bahwa obat nyamuk bakar menentukan pula alur pendidikan-pengajaran di Indonesia.
Kenangan itu berbeda dari bocah-bocah Indo hidup di Hindia Belanda awal abad XX. Orangtua atau pengasuh melindungi raga mereka dari serangan laskar nyamuk dengan kelambu. Di negeri tropis, mereka hidup berkelambu. Trauma sejarah tak ingin diulangi dengan kematian-kematian akibat serangan nyamuk. Kelambu itu pelindung bagi raga tidur di ranjang atau kasur empuk. Tokoh dalam novel tentang keluarga Indo gubahan E Breton de Nijs berjudul Bayangan Memudar (1975) mengucap pengalaman saat malam di tanah jajahan: “… aku sedang berada dalam perlindungan yang rangkap oleh kelambu dan dinding.” Ia ingin terhindar dari ketakutan dan keseraman. Ia berlindung dari nyamuk. Peradaban kelambu terus menular dan terwariskan sampai sekarang. Tata cara itu membuat orang tidur pulas tanpa harus berperang dengan nyamuk menggunakan tangan dan mata awas.
* * *
Pada masa berbeda, lakon permusuhan manusia dengan nyamuk menggunakan obat-obat aneh berupa cairan, elektrik, dan lotion. Sebutan obat pernah laris, sebelum ada pihak-pihak mengusulkan penggantian menjadi sebutan racun. Ralat sulit diterima publik. Puluhan tahun, mereka berpikiran segala itu obat meski mematikan bagi manusia, tak cuma bagi nyamuk. Orang-orang lekas mengingat Baygon dan Autan, selain raket pembunuh nyamuk. Publik pun pernah mengenali Mortein dan Raid. Merek demi merek berdatangan menambahi pilihan bagi orang membenci dan bersumpah perang sepanjang masa pada jutaan nyamuk.
Kita membaca lagi seruan-seruan perang dengan cara membeli dan menggunakan obat-obat mengaku ampuh atau sakti mandraguna. Di majalah Kartini, 20 Desember 1982-2 Januari 1983, iklan besar dan berwarna dari Raid. Lihatlah, bocah perempuan tidur memeluk boneka! Bocah sudah terlindung dari nyamuk. Perlindungan oleh Raid. Obat disemprotkan membikin laskar nyamuk terusir dan ketakutan. Penjelasan di iklan: “Raid kini dengan mudah membebaskan anda dari gangguan nyamuk dan segala jenis serangga. Berkat formula barunya, Raid sekarang membasmi nyamuk secara lebih ampuh. Nyamuk langsung jatuh, langsung mati. Keampuhan Raid yang tahan lama, membinasakan nyamuk sepanjang malam selagi anda tidur.” Pembunuhan terjadi setiap malam. Kematian ratusan sampai ribuan nyamuk tanpa upacara penguburan, doa bersama, dan kiriman karang bunga duka.
Di Kartini edisi 14-27 Februari 1983, kita mendapatkan iklan dari Baygon. Iklan bertokoh ibu memberi ajakan ke kita: “Semprotkan Baygon sayang…” Edisi obat cair disemprotkan mencipta neraka bagi nyamuk. Di Indonesia, Baygon telah diakrabi dalam perang abadi pada nyamuk. Penampilan sosok ibu mengartikan kewajiban ibu melindungi keluarga dari gigitan nyamuk. Baygon diperlukan bagi keluarga-keluarga Indonesia ingin menikmati malam tanpa garuk-garuk atau marah tak keruan gara-gara nyamuk. Keindahan dan keselamatan di malam hari dipengaruhi Baygon.
Kita simak: “Begitu anda semprotkan Baygon, daya basminya yang cepat dan pasti membasmi nyamuk dengan segera. Dan bila anda semprotkan Baygon di tempat-tempat nyamuk dan serangga lain bersembunyi, anda akan melihat bahwa Baygon mengusir keluar semua serangga sekaligus membasminya dengan pasti…. Karena itu, semprotkan Baygon sayang!” Ajakan romantis demi pembantaian nyamuk setiap hari. Pembantaian memerlukan duit. Perkara nyamuk harus ada dalam anggaran pengeluaran rumah tangga.
Semprot! Perintah itu berlangsung di hari-hari ingin selamat dari gigitan mematikan. Iklan berslogan kuat dan aman tampil di Femina, 20 Mei 1986. Semprot dan matilah pasukan nyamuk! Pesan bijak: “Jangan biarkan nyamuk hidup. Basmi dengan Mortein! Hanya Mortein yang mengandung bahan aktif pilihan, khusus pembasmi nyamuk.” Pembunuh nyamuk itu berasal dari Australia. Obat ingin “membasmi nyamuk dengan tuntas.” Iklan-iklan ingin membuat orang-orang berani membunuh nyamuk ketimbang terbunuh setelah gigitan-gigitan membuat gatal.
Pada masa berbeda, obat nyamuk itu elektrik. Kita menjumpai iklan di majalah Femina, 20 Mei 1986. Baygon mengenalkan tata cara baru memusnahkan nyamuk. Iklan ramai penjelasan agar konsumen tak salah pakai. Konon, Baygon itu obat nyamuk elektrik dengan jaminan mutu. Petunjuk penting: “Cukup masukkan Baygon mat ke dalam alat dan hubungkan dengan listrik. Lampu pilot akan menyala dan Baygon mat akan mengeluarkan wangi parfum. Itu tandanya bahwa Baygon obat nyamuk elektrik bekerja melindungi anda selama 8-10 jam.” Tata cara baru dalam perang melawan nyamuk tanpa asap atau tindakan semprot. Kebaruan itu mau manjur.
* * *
Pada tanggapan berbeda, hal-hal berurusan dengan nyamuk dan obat nyamuk malah menghasilkan cerita. Di negeri jauh, Chinua Achebe menulis novel berjudul Thing Fall Apart (1958). Dulu, novel itu dalam edisi bahasa Indonesia pernah diterbitkan Sinar Harapan berjudul Segalanya Berantakan, sebelum ada edisi berbeda di penerbit Hikmah, 2007. Tokoh perkasa bernama Okonkwo tampak tangguh di pertandingan gulat dan perang. Ia gampang marah tapi kadang sedih. Lelaki kuat dan berangasan tak terlarang untuk terharu atau menangis. Okonkow memiliki siasat dan kekuatan dalam mengalahkan musuh-musuh di gulat dan perang suku. Ia gagal memiliki jurus melawan nyamuk.
Chinua Achebe menulis adegan “kekalahan” Okonkwo setelah didera sedih: “Untuk kali pertama dalam tiga malam, Onkonkow tidur… Dia menggeliat dan menggaruk pahanya di tempat seekor nyamuk menggigitnya saat tidur. Dia menampar telinga itu dan berharap telah membunuhnya. Mengapa mereka selalu menyerang telinga orang?” Perang menghasilkan marah itu mengingatkan Okonkow pada dongeng ibu saat ia masih bocah. Dongeng besar betokoh nyamuk, bukan monster, raksasa, atau alien. Dongeng nyamuk itu dibawa sampai diri menjadi lelaki perkasa. Ia tetap selalu kalah bermusuhan dengan ribuan nyamuk sudah berhasil menggigit dan mematikan ribuan sampai jutaan orang, dari masa ke masa.
Cerita dari negeri jauh bisa kita tambahi dengan cerita sedih di Indonesia. Tokoh bernama Adila mengajak kita mengenali setumpuk perkara ditanggungkan remaja. Perkara-perkara menemukan jawaban pada cairan obat membunuh nyamuk. Ia membaca buku-buku bermutu tapi dipandang “buruk” oleh ibu. Tokoh itu memilih mencipta hidup-fiksional di kamar mandi. Kita mengenali ironi itu dalam cerpen berjudul “Adila” gubahan Leila S Chudori dimuat di majalah Matra edisi Agustus 1989.
Pada buku-buku, Adila (Dila) berlindung dari omelan ibu. Di situ, ia berjumpa tokoh-tokoh dalam buku sedang atau khatam dibaca. Ia berada di fiksi, terpisah dari perintah dan larangan ibu. Pada buku-buku, Dila ada di kejutan imajinasi dan jeda dari suntuk keseharian. Remaja belum beruntung. Ia mencoba berlindung tapi berakhir mengenaskan.
Lihatlah ilustrasi garapan Jim Barry Aditya di cerpen! Penampilan remaja berwajah sendu menatap diri di cermin. Ia mengenakan kutang di luar baju. Di situ, kita pun melihat ada lipstik dan sekaleng cairan Baygon. Ilustrasi itu meminta kita menduga hal-hal bakal dilakukan Dila. Adegan-adegan di cerpen sudah mengarah ke kematian. “Dila sedang mengaduk-aduk cairan Baygon itu dengan jarinya ketika terdengar cericit mobil bobrok ayahnya. Seperti tersengat kalajengking ia segera berlari mencuci tangannya,” tulis Leila S Chudori.
Pada suatu hari, Dila dipergoki dalam situasi tak keruan: “Dan entah bagaimana cairan Baygon itu bisa tumpah hingga rambut dan tubuhnya kuyup.” Hal itu bakal mendatangkan murka ibu. Hari-hari Dila sering buruk meski ia tenggelam di buku-buku ampuh. Ia gagal menghadapi ibu. Kita sampai ke akhir cerita. Peristiwa setelah Dila minum “dengan penuh semangat” cairan mematikan untuk nyamuk: “Di halaman rumah Adila, mobil-mobil polisi dan ambulans berserakan… Di dalam kamar, jenzah Adila yang berwarna biru diselimuti dengan kain putih sebatas leher. Ibunya memandangi wajah itu dengan geram.” Dila tamat, bukan nyamuk. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022