Indonesia Minum Jamu

Pada 19 Desember 2014, menteri di Kabinet Kerja meresmikan gerakan minum jamu nasional. Gerakan itu menetapkan cucu Soekarno bernama Puan Maharani sebagai Duta Jamu Indonesia. Pengumuman untuk gerakan minum jamu berbarengan orang-orang sudah ketagihan minum kopi di kedai atau kafe-kafe di kota. Minuman jamu terus disaingi minuman dalam pelbagai kemasan menawarkan seribu rasa. Indonesia abad XXI masih saja ingin meneruskan masa lalu dengan peristiwa minum jamu. Kini, kita menduga kaum politik rajin minum jamu agar waras demi hajatan demokrasi 2019. Setiap hari mereka sibuk ibadah, ziarah, pidato, dolan, rapat, dan bekerja. Semua demi demokrasi! Mereka harus berpikir berat dan raga menanggungkan beban tiada tara. Sibuk politik itu gampang menjadikan kaum politik capek, masuk angin, flu, mencret, pusing, linglung, dan murung. Mereka mungkin memilih jamu agar selalu waras dan pantang capek meramaikan politik Indonesia selalu berisik.

Di sela hari-hari politik, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani berbagi cerita di acara Herbal Indonesia Expo 2018. Ia berkata: “Sejak kecil, ibu saya selalu cekokin beras kencur, kunir asem, dan yang lainnya.” Semula, Puan Maharani menolak tapi sang ibu (Megawati Soekarnoputri) menasihati bahwa jamu itu penting dan berfaedah. Nasihat itu terbukti. Kini, Puan Maharani menganjurkan anak-anak rajin minum jamu (Jawa Pos, 16 Desember 2018)

Kita sejenak menengok masa silam agar tak terlalu reaksioner mengurusi kaum politik dan gerakan minum jamu. Dulu, jamu turut memberi kontribusi dalam seruan nasionalisme sejak masa 1930-an. Di Daulat Ra’jat edisi 29 Februari 1932, kita bisa melihat ada iklan jamu berukuran kecil. Perusahaan jamu berkenan jadi pengiklan bagi terbitan pers berhaluan nasionalisme dan “ekonomi kera’jatan”. Daulat Ra’jat digerakkan oleh Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Suparman. Ide-ide dan propaganda nasionalisme sering disajikan di Daulat Ra’jat, disertai pemuatan iklan-iklan. Pendapatan dari iklan-iklan menunjang kelancaran penerbitan Daulat Ra’jat, terbit sepuluh hari sekali.

Kita temukan iklan jamu Jawa cap Goenoengan, produksi Woro Oetojo, Semarang. Iklan memuat seruan tentang khasiat: “soember kwarasan”. Pilihan cap gunungan memberi ajakan imajinatif bagi orang-orang agar mengonsumsi jamu, berharap sehat dan bugar. Gambar gunungan merangsang kemauan mengingat referensi seni tradisional. Barangkali orang-orang tak perlu berpikir nekat bahwa para tokoh dalam epos Mahabharata atau Ramayana adalah para peminum jamu. Pilihan minum jamu mungkin membuat orang bisa berangan bakal perkasa seperti Bima, ganteng seperti Arjuna, dan cantik seperti Drupadi. Iklan bisa dibaca sebagai bentuk keterlibatan menggerakkan nasionalisme. Jamu berpihak ke misi capaian kemerdekaan meski masih dalam tataran beriklan.

Pengakuan jamu sebagai warisan kultural di Indonesia sering dipakai oleh pelbagai perusahaan jamu dalam beriklan. Mereka biasa menggunakan gambar, kalimat, dan tokoh mengesankan bercerita Indonesia. Sekarang, iklan-iklan jamu mengesankan persaingan bercap “paling” Indonesia. Garapan iklan memungkinkan pembentukan imajinasi bergerak ke pemaknaan Indonesia berlatar misi bisnis dan pelestarian warisan. Kemunculan depot-depot jamu di kampung dan kota semakin menguatkan bahwa jamu adalah minuman khas Indonesia. Pembesaran arti semakin dilakukan dengan peran perusahaan-perusahaan jamu sebagai sponsor dalam acara-acara pendidikan, seni, olahraga, dan sosial.

Kita bisa ikut mengingat lagi iklan berkesan narasi Indonesia di majalah Penjedar No. 74, 1957. Pengiklan adalah perusahaan jamu terkenal sejak tahun 1918, dirintis di Wonogiri. Iklan tampil sederhana tapi apik. Bagian atas tampak gambar gunung, sawah, sungai, dan pohon. Gambaran tentang Indonesia sebagai negeri elok dan agraris. Di bagian samping, kita melihat gambar seorang ibu menggendong bocah, mengenakan pakaian tradisional. Isi iklan: “Jang permai dan indah! Tidak dapat kita nikmati, kalau mata kita buta.” Kalimat lanjutan berisi bujukan agar mengonsumsi jamu untuk merawat kesehatan mata.

Di Indonesia, perusahaan jamu diakui rajin membuat iklan-iklan di pelbagai majalah. Iklan-iklan bertaburan pesan bergantung dari situasi zaman. Kita melihat lagi iklan-iklan dari masa lalu berharap mengerti sekian pesan tergamblangkan: nasionalisme, asmara, sakit, berahi, kecantikan, dan kecerdasan. Jamu berlimpahan pesan dan mencipta cerita-cerita kadang menjadi referensi terwariskan dari nenek-kakek sampai ke cucu.

* * *

Tulisan di majalah Nova edisi 12 November 1982 menjelaskan peran jamu dalam pernikahan ingin kekal romantis dan harmonis. Tulisan bersumber dari ceramah-makalah Ibu Suparto dalam seminar di Jakarta. Pesan bagi kaum perempuan agar bahagia sepanjang masa: rajin minum jamu Gadis, dilanjutkan minum jamu Padmosari. Di hari-hari menjelang pernikahan, ia dianjurkan minum jamu Pengantin. Semua demi menghasilkan “muka bercahaya, mata lebih indah cemerlang, badan berbau harum, penampilan menjadi anggun dan singset. Jamu dari ramuan akar dan kuncup bunga bisa berpengaruh ke derajat perempuan berbahagia dalam pernikahan.

Semula, jamu ingin melanggengkan asmara suami-istri sampai usia mereka menua. Janji bahagia kadang diselingi lelucon gara-gara khasiat jamu. Perempuan rajin minum jamu pernah memicu kecelakaan. Cerita ada di iklan dimuat di majalah Keluarga edisi November 1960. Iklan lucu bertokoh perempuan dalam penampilan anggun khas Indonesia. Ia berdiri santai dan mesem. Di belakang perempuan, tiga lelaki mengaduh. Mereka mengalami kecelakaan saat mata terlalu diberikan ke perempuan. Pengendara sepeda onthel memilih melihat perempuan cantik dan anggun ketimbang melihat jalan. Kecelakaan terjadi tanpa korban kematian. Mereka cuma luka ringan. Kecelakaan gara-gara jamu!

Perempuan itu rajin minum jamu Patmo Sari “Iboe” Tjap 2 Njonja. Jamu dijamin memuaskan bagi peminum. Kaum perempuan boleh membuktikan asal memiliki rasa kasihan pada para lelaki sering mengalami kecelakaan. Perempuan memiliki rahasia. Kaum lelaki tak jeli mengerti pesona perempuan. Rahasia itu jamu. Pada masa 1960-an, peminum jamu di kalangan perempuan mungkin mencapai jutaan. Mereka sudah digoda dengan iklan-iklan menjadi cantik dari pelbagai obat, kosmetik, dan minuman dari Eropa dan Amerika. Keinginan mewarisi jamu terasa nasionalis dan mengesankan ada pendefinisian cantik dan seksi menurut situasi sosial-kultural Indonesia.

Rahasia gagal diketahui kaum lelaki muncul di iklan Jamu Djago mejeng di  Star Weekly edisi 10 Juni 1961. Iklan lucu! Dua lelaki necis terpana memandang perempuan. “Hmm, siapakah pemudi itu?” Mereka kebelet ingin kenal dan memandangi kecantikan perempuan selama ribuan tahun. Dua lelaki penggoda telah terjerat dan menanti saat kecewa. Dandanan perempuan itu memang menggemaskan, tak seperti tampilan perempuan di iklan majalah Keluarga (1960). Busana modern semakin menjadikan perempuan tebar pesona seantero Indonesia.

Jamu bersalin Tjap Djago berslogan “rahasia ibu-ibu jang awet muda” membocorkan rahasia ke pembaca: “Salah terka, bung. Bukan, ia bukan pemudi, tetapi ia sudah bersuami  dan anaknja sudah 3. Ia memiliki tubuh seperti remadja puteri, karena sesudah melahirkan ia senantiasa minum djamu bersalin.” Kita mengimajinasikan ribuan lelaki masa lalu tertipu, kecewa, dan malu. Mereka belum belajar serius tentang jamu. Kebodohan itu mengakibatkan kecelakaan dan salah terka jika melihat perempuan cantik, anggun, dan singset.

Iklan masih mengajarkan minum jamu dalam mencipta rumah tangga bahagia tersaji di majalah Intisari edisi Januari 1970. Iklan dari Djamu Tjap Portrer Njonja Meneer. Lihatlah, perempuan bertubuh langsing sedang memasang bunga di telinga! Ia berpenampilan menggoda mata. Kita sulit memastikan busana itu digunakan untuk pergi ke pesta atau busana khas dikenakan di rumah. Ia meminum “djamu sorga”. Jamu mujarab “untuk kemesraan dan kebahagiaan berumah tangga.” Bahagia itu idaman. Perempuan dianjurkan minum jamu: membahagiakan diri dan suami. Sekian iklan jamu melulu ke perempuan. Kita sengaja belum menghadirkan iklan jamu bagi lelaki. Iklan penggenap dengan seruan “perkasa.”

* * *

Perusahaan-perusahaan jamu pun penentu arus sejarah Indonesia, sejak seabad silam. Kita memiliki cerita-cerita mengejutkan dari sekian perusahaan jamu berada di Jawa. Sejarah (perusahaan) jamu memang belum tercatat lengkap tapi serpihan-serpihan berada di pelbagai majalah dan buku. Di majalah Tempo, 10 Juni 1978, kita membaca cuilan sejarah perusahaan Jamu Djago. “Kini cap Djago sudah diusahakan secara industri oleh keturunan Poa. Sesuai dengan zaman, pabriknya dilengkapi dengan laboratorium. Produknya pun sudah meningkat ke kapsul. Kampanye promosinya sampai ke seluruh pelosok Indonesia. Pemasaran oleh para agennya sampai ke Singapura, Malaysia, dan Pilipina. Malah di Negeri Belanda juga ada penggemarnya,” tulis di Tempo.

Siapa Poa? Ia bernama lengkap Poa Tjong Kwan. Poa itu anak dari Pho Ting Goa, perempuan pandai meracik-meramu pelbagai macam jamu dari akar-akaran, daun-daunan, tumbuh-tumbuhan. Di Wonogiri, seabad lalu, ia mendapat julukan “Njonja Dukun”. Pada Poa Tjong Kwan, jamu itu menjadi dagangan terus berkembang dan tenar. Kelak, perusahaan jamu itu dikenali publik adalah Tjap Djago.

Kita masih bisa melihat iklan jamu dari perusahaan Poa, sebelum resmi dengan Tjap Djago. Iklan dimuat di majalah Panjebar Semangat, 17 Agustus 1940. Iklan menampilkan keluarga Jawa (bapak, ibu, bocah) tampak senang dan waras. Iklan diadakan oleh Djamu-Industrie Poa Tjong Kwan, Wonogiri, Java. Isi iklan: “Beroentoeng sebab badan sehat! Pilihlah djamoe Tjap Ajam jang soedah terkenal 21 taoen lebih. Mandjoernja loear biasa. Harga poen sanget ringan.”  Dulu, jamu memiliki Tjap Ajam sebelum menjadi Tjap Djago. Penamaan atau pemberian cap memang penting berkaitan peruntungan dan tebaran makna dalam sejarah Indonesia.

Jamu Djago berpindah ke Semarang, menjadikan Wonogiri adalah cerita asal dan masa lalu dalam sejarah jamu. Perusahaan jamu itu sukses dan menjadi penanda zaman. Kita bisa melihat iklan di majalah Liberty, 6-13 Februari 1965. Iklan tentang jamu dan perubahan zaman. Iklan dijuduli “Zaman Berganti…” pembaca melihat dua gambar membedakan siatuasi 1918 dan 1960-an. Masa lalu,  toko jamu di pinggir jalan besar belum terlalu ramai. Pada zaman berbeda, toko jamu itu sudah berupa bangunan bertingkat, jalan semakin ramai, dan kota tampak bersolek. Perubahan zaman tersadarai tapi “Djamu Tjap Djago tetap digemari.”

Sejarah jamu dibuat pula di Semarang oleh perempuan disebut Njonja Meneer. Di Semarang, publik mengetahui ada Jamu Djago dan Jamu Tjap Portret Njonja Meneer. Pada peringatan ke-70, pembaca Tempo edisi 28 Januari 1989, dipameri iklan sehalaman mengenai peran perusahaan bagi industri dan pengetahuan jamu di Indonesia. Iklan menguatkan museum ketimbang pabrik jamu. Iklan penting dan bersejarah, sebelum kita dipamiti Jamu Tjap Portret Njonja Meneer di usia seabad.

Foto museum dari kejauhan dan joglo dalam kemegahan. Foto itu memberi kesan keseriusan membuat museum jamu dan mengawetkan pengetahuan para leluhur. “Museum Jamu Nyonya Meneer, lima tahun kami berada di depan,” tulis di Tempo. Pengetahuan publik Semarang mengenai Jamu Njonja Meneer telah berlangsung sejak 1919. Pada masa Indonesia masih tanah jajahan, minum jamu menjadi pilihan untuk waras dan berbahagia. Obat-obat asal negeri asing menuruti resep dokter masih teranggap mahal bagi bumiputra. Pilihan minum jamu selalu diharapkan memberi kesegaran, kekuatan, kewarasan, kecantikan, dan kewibawaan.

Pembuatan museum mengartikan keinginan menguatkan pengetahuan jamu, bukan urusan mencari untung melulu berupa duit. Meseum itu pernah dikunjungi orang-orang penting di Indonesia. Ibu Tien Soeharto tentu ada di album kenangan jamu dan Indonesia. Kini, kita belum mengetahui nasib museum itu di Semarang. Bisnis semakin sulit dan “menghentikan” kemauan mempersembahkan jamu bagi Indonesia sepanjang masa.

Kita cuma mengenang sejenak saja sambil menanti kabar gerakan minum jamu nasional tak tersimpan di berita empat tahun lalu tapi berlanjut ke edisi saat Indonesia berdemokrasi pada 2019. Kita berhak menduga pesta kemenangan dalam berdemokrasi itu bakal bercerita jamu diminum jutaan orang di hari bersejarah dan tercatat sebagai rekor dunia. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Comments

  1. Nurhalimah Reply

    Keren Pak, saya suka tulisan dan jalan pikirannya. Sederhana tapi mengena.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!