Mengenang Husein Bin Ali, Cucu Kesayangan Rasulullah Saw

Doha Nd

Rasulullah Muhammad Saw. memiliki sejumlah anak. Di antara anaknya yang paling dikenal ialah Fatimah. Beliau inilah yang kemudian dinikahi Ali bin Abi Thalib, anak pamannya sendiri, alias sepupu dekatnya.

Ali bin Abi Thalib adalah pemuda yang pertama kali beriman kepada risalah Rasul Saw.

Ali bin Abi Thalib adalah orang yang menyelamatkan Rasul Saw. dengan menggantikan posisinya di kamar tidurnya waktu diserbu oleh kaum kafir Quraish.

Ali bin Abi Thalib adalah menantu terkemuka Rasul Saw.

Ali bin Abi Thalib adalah salah satu panglima perang terkemuka Rasul Saw.

Ali bin Abi Thalib adalah khalifah keempat dalam sejarah Khulafaur Rasyidin.

Ali bin Abi Thalib adalah pintu gerbang bagi kota ilmu pengetahuan Rasul Saw.

Ali bin Abi Thalib adalah sahabat dekat Rasul Saw. yang dijamin masuk surga.

Ali bin Abi Thalib adalah cendekiawan paling cemerlang yang paling banyak mewariskan nasihat-nasihat kepada kita hingga hari ini.

Dari pernikahan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah inilah lahir dua cucu yang paling beliau sayangi, yakni Hasan dan Husain.

Ketika mereka masih bayi, dituturkan bahwa Rasul Saw. mengunyah kurma lalu dilepehkan ke tangannya, kemudian disuapkannya ke mulut kedua cucunya tersebut.

Berkah dan karamah macam apakah yang terhantar melalui kunyahan kurma yang bercampur ludah Rasul Saw. lalu mengendap di sekujur tubuh kedua bocah mungil itu, menjadi darah, mengalir ke setiap urat sarafnya, dan merasuk ke dalam hati dan pikirannya?

Tak terbayangkan lagi….

Ketika keduanya masih kanak-kanak, selazimnya anak-anak, mereka gemar bermain. Dan teman dekat sepermainan mereka adalah Rasulullah Saw.

Kedua bocah itu kerap bermain di dada Rasul Saw; naik-naik ke punggungnya ketika beliau sujud, persis gaya kuda-kudaan yang juga dilakukan aanak-anak kita kini.

Rasul Saw. amat sering terlihat menggendong, memeluk, dan menciumi kedua cucunya tersebut. Sampai-sampai sahabat berkomentar: betapa besarnya cinta Rasul Saw. kepada Hasan dan Husein.

Suatu hari, Rasul Saw. mengatakan bahwa Hasan dan Husein bin Ali akan menjadi pemimpin para pemuda di dalam surga Allah Swt.

Jika Rasul Saw. yang melakukan, yang mengatakan, yang mewartakan, sudah pasti semua itu adalah benar karena beliau Saw. selalu berada dalam bimbingan dan petunjuk Allah Swt. Tidak mungkin tidak benar.

Hasan bin Ali digambarkan tumbuh menjadi pemuda yang berkarakter kalem, berbeda dengan Husain bin Ali yang digambarkan tumbuh menjadi pemuda yang berkarakter tegas dan pemberani.

Ketika terjadi tahkim (arbitrase) antara khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan di penghujung Perang Shiffin, di mana kekhalifahan sepeninggal Ali bin Abi Thalib akan diberikan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, lalu dikembalikan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib, yakni Hasan bin Ali, terjadinya pengingkaran kesepakatan dengan diangkatnya Yazid bin Muawiyah sebagai penerus Muawiyah bin Abi Sufyan, bukan Hasan bin Ali, disikapi oleh Hasan dengan memilih mengalah.

Sikap Husein beda lagi. Husein memilih memperjuangkan hak keluarganya, ahlul bait, dengan berdasar pada hukum tahkim dulu. Sikap politik Husein semakin menguat sepeninggal saudaranya, Hasan.

Para sahabat Rasul Saw. di Madinah dan Mekah berkali-kali mengingatkan Husein supaya tidak berangkat ke Kufah, Irak. Kabar yang diterimanya dari survey ke Kufah, dari saudara sepupunya, Muslim bin Aqil, mengatakan bahwa ada sekitar 12.000 pasukan yang siap membela Husein. Orang-orang Kufah itu menyatakan memilih berbaiat setia kepada ahlul bait—dalam hal ini Husein bin Ali—bukan kepada Yazid bin Muawiyah yang bertahta di Damaskus, Syam.

Husein lalu bertekad untuk menyongsong mereka ke Kufah. Akhirnya, perjalanan panjang penuh risiko itu pun diarungi. Darah pemberani Husein yang diteteskan Ali bin Abi Thalib menguat di sekujur jiwanya.

Husein tentu ingat sekali ucapan bapaknya dalam Perang Shiffin yang nyaris merenggut nyawanya: “Anak-anakku, kematian pasti datang menjemput bapakmu ini. Bergerak cepat tidak akan membuat kematian tertunda dan bergerak lambat juga tidak akan membuat kematian datang lebih awal. Bagiku, semua sama saja, entah aku yang menjemput kematian atau kematian yang menjemputku.”

Husein pun dengan rombongan kecilnya berjumlah 72 orang memulai perjalanan ke Kufah. Ikrarnya yang sangat terkenal melebur sirna segala bayang kecemasan, ancaman, dan risiko kematian yang telah banyak dinasihatkan kepadanya:

“Manusia melakukan perjalanan dalam kegelapan, dan takdirnya juga akan mendekatinya.”

Nun jauh di sana, di Kufah, gubernur Ubaidillah bin Ziyad melakukan “pembersihan” sebersih-bersihnya. Ancaman-ancaman hukuman keras dia tebarkan kepada siapa pun yang dicurigai bersekongkol dengan gerakan Husein bin Ali.

Tak main-main!

Digambarkan bahwa usaha gubernur Kufah untuk menundukkan siapa pun yang hendak melawan kekuasaan Umayah di Damaskus dipastikan berujung dengan kematian yang sangat tragis, rumah dibakar, dan keluarganya diusir ke padang pasir tandus. Inilah yang pula terjadi kepada Muslim bin Aqil, sepupu Husein bin Ali yang menjadi pemimpin bagi 12.000 prajurit yang siap berbaiat kepada Husein. Tekanan kuat gubernur dan pasukannya di Kufah membuat 12.000 orang itu ciut nyali. Dan Husein tak mengetahui tragedi di Kufah tersebut.

Muslim bin Aqil ditangkap oleh pasukan Ubaidillah bin Ziyad, digiring di keramaian dengan kaki, tangan, dan tubuh dirantai, dipermalukan, lalu dipenggal kepalanya dan tubuhnya disalib di pasar unta dan dibiarkan di sana hingga membusuk.

Seketika hancurlah mental orang-orang Kufah. Dan, Husein bin Ali belum menyadarinya sepanjang perjalanannya yang panjang.

Hingga terjadilah tragedi Karbala itu….

Jumat, hari ketiga Muharram 61 Hijriyah, perkemahan Husein bin Ali dan 72 rombongannya dikepung oleh empat ribu pasukan perang lengkap yang dikirimkan Ubaidilah bin Ziyad. Panglimanya bernama Shimr bin Dzil Jauzan—sebuah nama yang bakal diingat terus oleh sejarah dunia Islam hingga akhir zaman. Dulu, orang ini adalah sahabat Ali bin Abi Thalib, bagian dari pasukannya dalam Perang Shiffin.

Rombongan Husein terus dikepung berhari-hari dengan diputus segala akses kepada makanan dan minuman. Dalam keadaan letih luar biasa begitu, pada 10 Muharram, di hari Asyura, pasukan Shimr mendekati perkemahan Husein. Mereka hendak membakar perkemahan tersebut, beserta orang-orang di dalamnya, tetapi dicegah oleh Husein. Husein mengingatkan Shimr akan tuturan Rasulullah Saw. agar umat Islam menghormati ahlul bait. Ucapan Husein dipotong dengan kasar dan keras penuh penghinaan oleh Shimr.

Husein pun berkata kepadanya:

Benarlah apa yang telah dikatakan Rasulullah Saw. kepadaku, bahwa kelak aku akan bertemu dengan anjing hitam yang memiliki belang putih, yang meminum darah ahlul bait.

Shimr tak lagi peduli siapa yang dihadapinya. Ia merangsak bersama pasukannya dan melesatkan anak-anak panah hingga melukai dengan parah tubuh Husein bin Ali dan banyak rombongannya. Dalam keadaan luka parah tersebut, Husein bin Ali rahimahuLlah dibantai, dipenggal kepalanya oleh Shimr bin Dzil Jauzan. Darah suci itu pun tumpah ke tanah. Aroma wangi darah suci itu menguar ke angkasa, membuat langit murung seketika.

Sebuah riwayat lain menggambarkan bahwa saat Husein syahid, di tubuhnya terdapat 33 tancapan belati dan sekujur tubuhnya penuh luka pedang. Riwayat lain lagi menggambarkan bahwa tatkala tubuh Husein telah lemah terjatuh, Shimr bin Dzil Jauzan duduk-duduk di atas tubuh itu, kemudian menginjak-injaknya sedemikian brutal, kemudian memenggalnya. Ada pula riwayat yang menggambarkan bahwa tubuh Husein diinjak-injakkan menggunakan kaki-kaki kuda.

Ya Ilahi, ya Ilahi, ya Ilahi….

Sebuah riwayat beraura mistis menuturkan bahwa tatkala Husein bin Ali dipenggal, darahnya tumpah ke tanah, syahid menyambutnya, kuda kesayangannya yang bernama Lahik (Sang Pengejar) mendekati darah yang menggenang itu, lalu mengendusi dan menciuminya. Tak lama berselang, dari arah langit bagaikan ada pintu yang terkuak, dua ekor merpati putih menukik cepat ke genangan darah itu, membasahi sekujur tubuh mereka dengannya, lalu melesat lagi ke angkasa: satu menuju Mekah, satu lagi menuju Madinah.

Penduduk Mekah dan Madinah lalu mengetahui bahwa tragedi yang paling menyedihkan sepanjang sejarah Islam itu benar-benar telah terjadi. Mereka menangis dengan derai air mata dan parau suara yang takkan pernah terlupakan….

Kepala Husein bin Ali dibawa ke Kufah, diperlihatkan kepada gubernur Ubaidillah bin Ziyad, beserta kepala-kepala lain dari rombongan Husein. Juga sebagian orang yang selamat.

Di hadapan panorama tragis itu, Zainab bin Ali meratap:

“Ya Muhammad, Wahai Muhammad, semoga malaikat surga memberkatimu. Lihatlah cucumu Husein di tempat terbuka, berlumuran darah dengan tubuh yang terbusai berserakan. Wahai Muhammad, cucu perempuanmu kini jadi tahanan, anak-cucumu dibantai, dan angin timur menyelimuti mereka dengan debu.”

Para penjilat haus kekuasaan itu tiada peduli. Merka berlomba-lomba berarak-arak untuk mendapatkan pujian gubernur Ubaidillah bun Ziyad.

Begitupun gubernur ini kemudian menghantar kepala Husein bin Ali ke Syam, Damaskus, untuk diperlihatkan kepada Yazid bin Muawiyah dengan hati sumringah karena merasa telah menyumbangkan penyelamatan dan perlindungan terhadap kekuasaan dinasti Yazid bin Muawiyah.

Ada riwayat yang mengatakan bahwa kepala Husein itu diketok-ketok pakai tongkat oleh Yazid bin Muawiyah—tapi ada pula yang mengatakan bahwa bukan Yazid bin Muawiyah yang melakukannya, tetapi Ubaidillah bin Ziyad. Melihat peristiwa tersebut, seorang lelaki tua yang merupakan bagian dari staf istana berkata dengan keras:

“Demi Allah Swt! Dulu aku sering melihat kepala ini diciumi oleh Rasulullah Saw. Apa yang kalian lakukan ini sungguh sangat buruk dan terlaknat!”

Di hadapan Yazid bin Muawiyah, dengan lantang Zainab bin Ali berdiri dan berkata: “Kau, ayahmu, dan kekekmu menerima keyakinan agama ayahku, Ali bin Abi Thalib, keimanan saudaraku Husein, keimanan kakekku Muhammad. Tetapi kau telah mencemari mereka dengan berlaku tidak adil dan mengingkari apa yang betul-betul kau imani!”

Diriwayatkan, Yazid bin Muawiyah menitikkan air mata mendengar ucapan lantang Zainab bin Ali tersebut. Mungkin saja di detik tersebut ia teringat wasiat ayahnya, Muawiyah bin Abi Sufyan jelang meninggal, yang mengatakan: “Jika kau mengalahkan Husein, maafkan dia, karena memang dia memiliki hak yang lebih besar.”

Dari garis nasab Husein bin Ali bin Abi Thalib ini, putra lelakinya yang selamat adalah Ali Zainal Abidin. Zainab bin Ali, bibinya sendiri, yang melindungi Ali Zainal Abidin dari terjangan Shimr bin Dzil Jauzan yang juga hendak membunuhnya di dalam tenda, di Karbala.

Kelak, dari jalur Ali Zainal Abidin yang berjuluk As-Sajjad (Sang Ahli Sujud) ini—karena dikabarkan beliau sehari semalam istiqamah menjalankan salat sebanyak seribu rakaat—lahir tokoh-tokoh besar Islam, dalam pelbagai disiplin ilmu dan keulamaan yang menakjubkan.

Imam Ja’far ash-Shadiq, guru para imam mazhab yang kita kenal hari ini, sekaligus sumber ilmu bagi terjaganya kemu’tabaran sanad ilmu para imam mazhab dan pula ulama leluhur kita, merupakan cucu Ali Zainal Abidin dari putranya yang bernama Muhammad al-Baqir. Imam Ja’far ash-Shadiq ini dapat dikatakan sebagai “tokoh kunci” bagi jalur panjang kemu’tabaran dan kemuttasilan sanad ilmu para ulama sepanjang sejarah.

Dalam sebuah riwayat silsilah yang pernah saya baca, disebutkan bahwa Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Sulthanul Auliya’, juga tersambung sanad nasabnya kepada Imam Ja’far ash-Shadiq. Begitupun almaghfuruLlah Mbah Maimoen Zubair. Sungguh menakjubkan.

Apakah Allah Swt. yang menyelamatkan Ali Zainal Abidin dalam tragedi Karbala merupakan bukti bagi penjagaan Allah Swt. kepada urgensi silsilah sanad nasab dan ilmu ini sebagaimana dimaksud hadis Rasul Saw. riwayat Bukhari tentang “sanad ilmu”?

Rasul Saw. bersabda: “Aku adalah kota ilmu pengetahuan dan Ali bin Abi Thalib adalah pintu gerbangnya. Siapa yang hendak memasuki kotaku, maka hendaklah ia melalui pintu gerbang tersebut.”

Wallahu a’lam bish shawab.

Husein telah syahid di Karbala dengan segenap keberaniannya yang khas Ali bin Abi Thalib. Namanya abadi.

Di penghujung bagian hikayat yang memilukan ini, saya teringat hadis ini. Para sahabat bertanya kepada Rasul Saw. “Ya Rasulallah Saw., kami melihat betapa besar kecintaanmu kepada Husein.” Rasul Saw. menjawab, “Betul, aku adalah bagian dari Husein dan Husein adalah bagian dariku. Mencintai aku siapa yang mencintainya dan memusuhi aku siapa yang memusuhinya.”

Riwayat lain menuturkan, Rasul Saw. berkata sembari menggandeng tangan Husein bin Ali, “Wahai manusia, ini Husein bin Ali; Husein ini (kelak) kekeknya di surga, bapaknya di surga, ibunya di surga, paman-paman dan bibi-bibinya di surga, saudara-saudaranya di surga, dan dia juga di surga.”

Rasul Saw. juga bersabda: “Cintailah Allah Swt. karena nikmat yang diberikanNya kepada kalian; cintailah aku karena kecintaan kalian kepada Allah Swt; dan cintailah ahlul baitku karena kecintaan kalian kepadaku.” Beliau Saw. melanjutkan: “Segala sesuatu ada asasnya, dan asas Islam adalah mencintai Rasulullah dan ahlul baitnya.”

Sudah pasti, Rasulullah Saw. dengan bimbingan Allah Swt. telah mengetahui takdir apa gerangan yang akan terjadi kelak pada cucu kesayangannya tersebut, Husein bin Ali—sebagaimana beliau Saw. juga tahu takdir hidup Ali bin Abi Thalib yang syahid di tangan Abdurrahman bin Muljam at-Tamimi. Kepastian pengetahuan Rasul Saw. ini terlihat dari ucapan Husein bin Ali kepada Shimr bin Dzil Jauzan sebelum menyerang dan membunuhnya.

Shimr bin Dzil Jauzan, Shimr bin Dzil Jauzan. Namanya abadi pula, sebagai pembunuh keji Husein bin Ali, cucu kesayangan Rasulullah Saw.

Di ujung hidupnya, Shimr bin Dzil Jauzan dipenggal kepalanya oleh pasukan Mukhtar al-Tsaqafi. Tubuhnya dilemparkan jadi makanan anjing-anjing.

Jogja, 4 September 2019

Edi AH Iyubenu

Comments

  1. Anonymous Reply

    Banyak kalimat yg sy tak pahami. Entah, apa salah ketik atau gmn. Mood membaca tiba2 hilang jadinya

    • Anonymous Reply

      Yang mana ya. Semua bisa dipahami.

    • Fakhrun Nisa Reply

      semua bisa dipahami, mungkin anda tidak paham dengan istilah2 agamanya.

      • Awal Reply

        Setiap kali membaca kisah ini tak terasa air mata menetes. Assalamu alaika ya ahlul bait.

  2. Dzakiyatul fikriyah Reply

    Terimakasih kak, karna menceritakan kisah ini,, jujur, tak kuasa air mata mengalir ketika membacanya,, rindu diri ini kepada baginda rasul dan ahlul-baitnya,, semoga kami termasuk golongan orang ” yang beruntung dunia akhirat, bukan orang” yang rugi

    • Ace Reply

      bacaan sy menyebut Sinan ibn Anas yg menombak leher sayyidina Husein. Bukan Shimr bin Dzil Jauzan. Mohon pencerahannya

  3. Anonymous Reply

    Maa syaa Allah

  4. Soemarda Paranggana Reply

    Subhanallah…

  5. Alvina Reply

    Celoteh begini jika ingin dikirim pakai jenis naskah apa ya? Hibernasi/Tegal/cerpen/esai?

  6. Aswir Astaman Reply

    Kalau kita menyimak buku seni perang, Husen orangnya tidak taktis. Menurut teori tersebut kalau peperangan tidak mungkin dimenangkan, kita harus hindari. Ini pasukan Husen hanya 75 orang sedangkan pasukan Yazid 3000 ribuan dan dia sudah dikepung di padang Karbala. Dan dia sudah ditawari oleh musuh untuk pulang dengan aman ke Madinah. Namun Husen menolak tawaran itu dan memaksakan diri untuk terus melawan . Akhir dari peperangan sudah bisa di duga. Husen tewas dan bersama dia juga tewas kepnakan-keponakan yang masih muda belia.

Leave a Reply to Anonymous Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!