Oh, Novelis!

Ia tak seberuntung Ashadi Siregar dan Marga T. Novel-novel bercerita kampus oleh dua pengarang itu membentuk imajinasi memikat bagi pembaca Indonesia, sejak masa 1970-an sampai sekarang. Sekian novel mereka malah sudah jadi film. Ingat sastra selera kampus, ingat Ashadi Siregar dan Marga T. Kini, para pengarang sastra selera kampus sudah bertambah, memiliki ketenaran berbeda corak dari masa lalu.

Pengarang agak apes meski menaruh diri di kampus selama puluhan tahun itu masih gagal mendapat pengakuan pada abad XX dan XXI. Ia menulis novel di masa belakangan setelah Jakob Sumardjo menerbitkan buku berjudul Novel Populer Indonesia (1980). Jakob Sumardjo tak membuat jilid II. Kita mungkin menantikan ada kritikus sastra berkenan membuat buku ulasan novel dan ketokohan di kesusastraan “pop”, dari masa 1970-an sampai 1990-an. Ia wajib mendapat pengakuan dan penghormatan.

Kita jangan bersedih tak menemukan nama pengarang itu dalam buku berjudul Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern edisi ketiga (1990) susunan Pamusuk Eneste. Di situ, nama-nama di sastra “serius” terpilih ketimbang di “pop”. Ia masih belum tercatat sebagai pengarang meski telanjur kondang di panggung, televisi, dan film. Situasi dan ideologi sastra di Indonesia belum memberi tiket untuk masuk ke daftar pengarang berpengaruh atau memberi faedah bagi pertumbuhan sastra mutakhir. Ia ada di tepian pengertian sastra.

Pengakuan kecil sempat diberikan di majalah Kartini edisi 29 Mei-11 Juni 1989. Berita kecil digenapi foto berwarna. Ia bernama Wahjoe Sardono. Oh, Dono! Ia memang pelawak menebar tawa di Indonesia, dari masa ke masa. Indonesia dalam kondisi parah, berantakan, girang, lungkrah, dan membara selalu mendapat penghiburan dari Dono. Ia tak ingin selesai dengan melawak. Di sela-sela menjalani ibadah melawak, ia menulis novel. “Selama enam bulan, menurutnya, ia terus ngebut, dengan target empat atau lima lembar setiap malam,” tulis di Kartini. Janji menulis ditunaikan menghasilkan novel berjudul Cemara-Cemara Kampus (1988). Novel diterbitkan Aya Media Pustaka, Jakarta.

“Lelaki muda itu bernama Kodi. Aslinya sih Kodiat Suryokusumo. Setidaknya itulah yang tercantum dalam surat tanda lahir bikinan kelurahan. Ia anak pensiunan bupati di sebuah daerah Jawa Tengah. Kodi tampangnya lumayan keren. Hidungnya bangir, rada-rada berbau bule. Matanya memiliki tatapan tajam, sering membuat cewek yang kena pandangannya seperti tersulut setrum. Perawakannya juga tinggi jangkung, memenuhi syarat andaikan ngelamar jadi peragawan. Dan kumis di bawah hidungnya itu, sebenarnya tumbuh subur teratur. Tetapi Kodi lebih sering mencukurnya, gara-gara kumis itu suka menjadi tongkrongan parutan kelapa. Maklum Kodi punya hobi makan ketan,” pembuka mengundang tawa. Lucu! Perkenalan tokoh sudah lucu tapi keragaan Kodi dalam novel mustahil Dono.

Jawaban Dono saat dituduh Kartini sebagai Kodi: “Wah, tidak! Soalnya tokoh dalam cerita itu keren, ganteng, pintar, dan anak ningrat yang banyak ditaksir cewek. Sedangkan saya, ha ha ha….” Dono itu Dono. Ia tak mau dipaksa menjadi lelaki ganteng. Indonesia bakal kecewa melihat pelawak itu ganteng dan perlente. Ia menjadi pengarang enggan menaruh diri dalam cerita. Dono pun mengurangi kadar lucu di novel. Di panggung lucu, belum wajib di novel juga lucu. Ia mungkin kalah lucu dalam menulis novel dibandingkan dengan Yudhistira ANM Massardi, Remy Sylado, dan Eddy D Iskandar.

Pengakuan Dono: “Mulanya saya memang ingin menulis novel lucu. Tetapi, kemudian timbul masalah. Kalimatnya yang harus lucu atau jalan ceritanya. Memang idealnya menggabungkan keduanya. Tapi, ternyata susahnya bukan main. Ya, sudah, kalau saya ingin menitipkan humor juga, biarlah menulis novel lucu saja agar berbeda dengan penulis yang lain.” Dono sudah menghabiskan lucu di panggung, kaset, dan film? Orang melucu boleh capek. Tuhan tak pernah memerintahkan pelawak wajib melucu sampai mati. Pada novel, Dono berhitung kekuatan bahasa dan alur cerita. Pemaksaan lucu dihindari agar pembaca rela dilenakan cerita dari pengarang mustahil mendapat Nobel Sastra.

Dono membuat biografi berbeda dari Kasino dan Indro. Di panggung, mereka bersama disebut Warkop DKI tapi pemenuhan hasrat-imajinasi tampak berbeda. Dono belum ingin berganti profesi menjadi penulis saja. Ia menganggap menulis novel itu “penting”, bukan sambilan dari kesibukan melawak. Dalih penulisan novel: “meramaikan dunia tulis-menulis yang memang sudah ramai.” Ia sadar bahwa industri buku, gandrung novel “pop”, dan kecapekan sastra “serius” memberi hak memberi suguhan novel bakal sulit mengubah kesusastraan dan nasib kampus seantero Indonesia. Dono cuma ingin meramaikan biar diri pun tak sepi. Ia mencari tempat di alur novel.

Novel itu anggaplah pengumuman kecil dari pamrih-pamrih Dono. Lelaki kelahiran 30 September 1951 itu ingin menjadi wartawan. Impian terwujud dengan mengurusi Salemba saat kuliah di Universitas Indonesia.  Ia menulis dan membuat karikatur. Buku berjudul Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main (2010) memuat ingatan Rudy Badil mengenai cita-cita Dono: “Mestinya aku karena cita-cita gue jadi wartawan, bukan pelawak yang ngamen di panggung dan main film.” Perkataan Dono itu mengesahkan iri pada Rudy Badil sebagai wartawan Kompas pada tahun 1979. Dulu, Dono ingin pintar, tak sepintar Kodi. Pada suatu masa, ia turut mengajar sosiologi di Universitas Indonesia. Dono berada di samping Selo Soemardjan (Bapak Sosiologi Indonesia). Apa ia pernah kebelet jadi sastrawan seampuh Mochtar Lubis, Ramadhan KH, Umar Kayam, Budi Darma, dan YB Mangunwijaya? Ia menunaikan hidup cenderung dihormati sebagai pelawak, belum sebagai pengarang.

Berita mengenai kematian Dono di Kompas edisi 29 Desember 2001 dan 31 Desember 2001 tak mencantumkan jejak kesusastraan. Dono dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Kompas cuma memberitakan kehadiran para pelawak di penghormatan terakhir pada Dono. Mereka adalah Indro, Miing Bagito, Dedy Mizwar, Eko Patrio, dan Taufik Savalas. Kita tak membaca ada nama pengarang turut hadir di Tanah Kusir dan memberi komentar atau pujian ke Dono. Para pengarang mungkin memang tak berada di Tanah Kusir. Dono tetap belum terakui penuh masuk dalam “kaum novel” di Indonesia.

Penggemar Dono pernah bergirang menemukan pemberitaan di majalah Matra edisi September 1990. Berita memuat pelbagai capaian dan peruntungan. Hari-hari terus berganti sejak novel berjudul Cemara-Cemara Kampus terbit. Orang-orang mulai membeli dan membaca. Novel jadi santapan “ringan”. Dono mungkin tak berharapan novel diobrolkan di Taman Ismail Marzuki atau tempat-tempat “angker” dalam perbincangan sastra modern di Indonesia. Dulu, ia berada di TIM bergabung dengan para sastrawan tenar. Dono-Kasino-Indro diajak Putu Wijaya tampil di Teater Tertutup TIM untuk pembacaan cerpen (Tempo, 24 November 1984). Acara itu meriah! Dono tak mau mengulang dengan acara pembacaan novel berjudul Cemara-Cemara Kampus.

Di Matra, Dono mengabarkan bahwa Cemara-Cemara Kampus sudah laku 10.000 eksemplar. Dono menjelaskan: “Pada media film atau kaset, baru dianggap meledak kalau laku limaratus ribu sampai dua juta. Sedangkan buku, laku terjual lima ribu saja, itu sudah hebat. Jadi buku saya itu bisa dianggap meledak lho. Bayangin, dari 180 juta rakyat kita, 10.000 membeli buku saya.” Ia tampak bergirang melampaui girang di panggung atau film sebagai pelawak. Ia mungkin semakin beriman di sastra gara-gara Cemara-Cemara Kampus laris.

Dono itu novelis! Ia tak cuma memberi warisan novel berjudul Cemara-Cemara Kampus. Sekian novel gubahan Dono (Bila Satpam Bercinta, Dua Batang Ilalang, Senggol Kiri Senggol Kanan) menanti sorotan dari pembaca dan kritikus sastra agar terhindar dari melulu angka penjualan atau keseringan cetak ulang setelah novel-novel diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Kita berhak menaruh nama Dono di buku leksikon atau ensiklopedia sastra tanpa harus minta izin ke para kritikus sastra ampuh atau institusi-institusi resmi sastra di Indonesia. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!