Pada masa lalu, ada dua Anwar membesarkan sastra Indonesia. Mereka mendapat julukan Angkatan 45. Di Jakarta, mereka menulis dan mengabarkan sastra sanggup menggerakkan imajinasi ke segala penjuru. Dua Anwar pernah semasa tapi memiliki nasib berbeda. Pada masa berbeda, dua Anwar terus dikenang dengan perbedaan kekuatan di sastra. Mereka itu Chairil Anwar dan Rosihan Anwar.
Orang-orang sudah mengenali Chairil Anwar melalui buku-buku garapan HB Jassin, Nasjah Djamin, Arief Budiman, Sjumandjaja, dan Hasan Aspahani. Rosihan Anwar tak setenar Chairil Anwar tapi terus jadi tokoh terhormat di Indonesia. Orang-orang mengenali Rosihan Anwar di sastra, pers, film, dan sejarah. Tokoh itu penting tapi belum terlalu jadi idaman seperti Chairil Anwar, mati di usia muda tapi menjadi sejarah. Rosihan Anwar pun “membentuk” dan menuliskan sejarah Indonesia.
Rosihan Anwar memiliki hasrat bercampur di masa 1940-an. Ia tekun di pers tapi sibuk pula di sandiwara dan sastra. Pada masa 1950-an, ia mulai menjadi manusia film. Masa itu berlalu. Rosihan Anwar mulai memilih menempuhi jalan pers. Di sastra, ia sempat moncer dengan cerita pendek berjudul “Radio Masjarakat”. HB Jassin memuat cerpen itu dalam buku bunga rampai berjudul Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi (1948). Tanggapan dari HB Jassin: “Rosihan Anwar penganalisa djiwa pemuda dalam tjerita pendeknja berdjudul ‘Radio Masjarakat’ jang bermain pada permulaan pendaratan Djepang, penjair, penangkap saat jang bercorak nasionalis dan djurnalis pengarang reportase dan kisah perdjalanan.” Cerpen itu semula dimuat di Djawa Baroe, Agustus-Oktober 1943.
Pemuatan di buku HB Jassin mengesahkan Rosihan Anwar adalah sastrawa meski tak berketerusan. Konon, ia merasa gagal untuk menulis cerita pendek, novel, dan puisi. Ia mencukupkan dengan teks-teks sastra dalam hitungan sedikit. Di buku Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia, 1981-1982, tim Tempo tak menempatkan Rosihan Anwar sebagai tokoh sastra tapi tokoh besar di pers. Rosihan Anwar cuma dikenalkan berkaitan sastra dalam satu kalimat: “Menulis beberapa cerita pendek.”
Puluhan tahun berselang dari kesibukan di sastra, sandiwara, pers, dan film, Rosihan Anwar menulis autobiografi. Ia tak perlu menunggu orang lain mengadakan penulisan biografi. Buku autobiografi itu dijuduli Menulis dalam Air: Di Sini Sekarang, Esok Hilang (1983). Buku tebal, belum memuat semua hal mengenai Rosihan Anwar. Pada masa sesudah buku terbit, ia tetap saja tampil menjadi tokoh terhormat: rajin menulis dan menerbitkan buku. Autobiografi tak pernah disusul jilid 2.
“Autobiografi ini dapat dianggap sebagai sepotong kecil sejarah budaya Indonesia, karena penulis hidup dalam tiga zaman, sejak zaman penjajahan Belanda, zaman pendudukan Jepang, hingga zaman Indonesia merdeka,” tulis Rosihan Anwar. Buku mengandung peran Rosihan Anwar sebagai pelaku dan saksi sejarah. Hidup di tiga zaman itu ditandai dengan kemampuan berbahasa Rosihan Anwar. Ia mahir mengingat dan mengutip perkataan-perkataan dalam bahasa Belanda, Inggris, Yunani, Jerman, Prancis, Latin, dan Arab. Buku autobiografi itu memang mengajak pembaca mengenali Rosihan Anwar sekalian menelusuri babak-babak sejarah Indonesia. Buku terbit untuk peringatan 60 tahun Rosihan Anwar, 10 Mei 1922-10 Mei 1983.
Rosihan Anwar lahir di Payakumbuh, Sumatra Barat. Pada masa bertumbuh dewasa, ia merantau ke Jogjakarta dan Jakarta. Rosihan Anwar ingin maju dan modern. Bersekolah dan mengalami pergaulan di Jawa dianggap memberi kemungkinan-kemungkinan baru menempuhi abad XX. Ia terlalu ingin menempatkan diri dalam arus sejarah, sejak penafsiran tanggal kelahiran dan peristiwa-peristiwa penting dalam hidup. Rosihan Anwar merasa beruntung dilahirkan di tahun 1922. Kelahiran dikaitkan dengan peristiwa Semaoen kembali dari Uni Soviet, perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia, Perguruan Nasional Taman Siwa diresmikan di Jogjakarta, dan novel Sitti Nurbaya gubahan Marah Rusli diterbitkan oleh Balai Pustaka. Semua itu berpokok ke tahun bersejarah: 1922. Rosihan Anwar cenderung melakukan pembesaran diri sejak dilahirkan dengan mencantumkan segala hal turut dicatat di sejarah.
Pada episode berbeda, Rosihan Anwar enggan merasa di kebesaran dan ketinggian. Ia gamblang mengaku sebagai manusia gagal di sastra. Kita simak kalimat-kalimat kegagalan: “Orang mengatakan profesi saya sebagai wartawan itulah yang membunuh kemungkinan saya bertumbuh menjadi orang dari belles lettres. Itulah sebabnya saya tidak pernah mampu menghasilkan karya novel yang bagus dan bernilai sastra. Saya terpikir dibuatnya. Memang itulah alasannya mengapa saya tidak sempat berkembang menjadi novelis? Saya tidak tahu. Tetapi saya ingat benar betapa dahulu saya ingin menjadi novelis.”
Pada masa bocah dan remaja, Rosihan Anwar membaca buku-buku gubahan Karl May dan Courths Mahler. Ia pun membaca buku-buku Jack London dan Charles Dickens. Rosihan Anwar malah jarang membaca novel-novel keluaran Balai Pustaka. Novel berjudul Sitti Nurbaya tentu dibaca sampai khatam. Pilihan novel paling berpengaruh dalam kesastraan Rosihan Anwar justru jarang dikenal publik. Ia menjadikan novel gubahan Ruby Aires berjudul Papieren Rozen sebagai novel paling disenangi. Masa lalu itu tetap tak sanggup memberi penguatan bagi Rosihan Anwar menjadi novelis ampuh di Indonesia. Ia terkenang sebagai novelis gagal.
Ia justru moncer sebagai pembaca dan peresensi buku bertema sejarah. Sekian tulisan menggoda pembaca menekuni buku-buku sejarah dipersembahkan Rosihan Anwar, setelah ia berstatus wartawan tanpa koran. Dulu, ia pernah menjadi wartawan di Asia Raya, Merdeka, dan Siasat. Di sejarah surat kabar, ia sering melekat dengan penerbitan Pedoman. Keranjingan membaca bagi wartawan itu mutlak. Rosihan Anwar perlahan menjadi penulis resensi dan kolom. Ia mengajak orang-orang berbasah sejarah.
Buku berselera sejarah dari Rosihan Anwar berjudul Musim Berganti: Sekilas Sejarah Indonesia 1925-1950 (1985). Di situ, Rosihan Anwar menjelaskan: “Salah satu kegiatan saya sebagai wartawan free lance ialah menulis resensi buku. khusunya buku bertema sejarah negeri dan rakyat Indonesia. Dalam kaitan ini banyak saya bicarakan buku yang ditulis oleh orang Belanda yang pernah bekerja atau berdiam di negeri ini, yang memberikan informasi tentang masyarakat kita beberapa puluh tahun yang lalu.” Gagal jadi penulis novel dan puisi, ia mendapat pujian sebagai peresensi ulung. Ia memilih buku-buku sejarah, bukan buku-buku sastra.
Daniel Dhakidae di Tempo, 8 Oktober 1983, menilai Rosihan Anwar: “ketidakpastian tokoh.” Rosihan Anwar memiliki sekian keinginan. Semua menjadi hiruk-pikuk mencipta a chaos of desire. Di Indonesia, nama Rosihan Anwar itu penting tanpa harus selalu mengasihani kegagalan di sastra. Ia pernah bersastra meski tamat duluan. Rosihan Anwar menebus kegagalan sebagai pencerita dengan menulis ratusan esai dan resensi, memberi jalan lain dalam pamrih mengerti manusia dan Indonesia. Ia malah terbuka mengakui: “Toh kendati semua itu, saya tidak mampu berkembang menjadi novelis dan penyair. Hasilnya cuma inilah: menjadi broodschrijver, orang yang menulis untuk mendapatkan sekadar bayaran.” Ia tetap penulis terhormat di ombak-ombak kata, dari masa ke masa.
Jakob Oetama (2011) mengatakan: “Dia seorang pekerja otak (kognitiriat). Semua persoalan masyarakat dia rambah, dan disikapi secara kritis. Meskipun ada inklinasi ke bidang-bidang tertentu seperti kebudayaan dan politik, tetapi kurang ke bidang ekonomi, boleh dikatakan Bung Rosihan Anwar itu wartawan generalis sekaligus spesialis, bintang film lagi.” Pujian dan kritik dari tokoh pers itu berkaitan pula cemburu buku. Di Indonesia, Rosihan Anwar tercatat telah menerbitkan dua puluhan buku. Ia terlalu rajin menulis.
Ibadah menulis selama puluhan tahun itu berhenti pada 14 April 2011. Rosihan Anwar menjadi manusia terhormat di Indonesia. Kita mengenang dengan membaca buku-buku, dari cerita pendek sampai sejarah kecil. Kini, ia mengiringi kita dalam pengembaraan (bacaan) Indonesia, sejak masa kolonial sampai abad XXI. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022