Ia tidak kharismatis, tidak flamboyan. Ia tak pandai bicara…
(Goenawan Mohamad, 7 Juni 1980)
Kaum penikmat sastra mungkin sempat bingung atau abai pada nama tercantum di keredaksian majalah Horison. Nama penting di pers tapi belum tentu dikenali orang-orang sastra. Ia bukan penulis puisi atau novel. Ia mengerti sastra dunia dan perlu membagikan buku-buku ke orang-orang berkecimpung di pers, politik, dan sastra. Ia memberi bakti sastra dengan cara berbeda dari anutan umum. Di majalah Horison, kita cenderung mengenang nama penting: Mochtar Lubis. Nama menguak sejarah pers dan sastra, sejak masa kekuasaan Soekarno sampai Soeharto. Mochtar Lubis itu orang pernah beruntung mendapat perhatian dari tokoh jarang dimuliakan di arus sastra Indonesia: PK (Petrus Kanisius) Ojong. Nama kadang terlintasi saja saat orang lekas mengenali jajaran nama di Horison: Mochtar Lubis, Arief Budiman, Taufiq Ismail, Zaini, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain.
Kita ingin mencatat PK Ojong di kerja sastra dan perbukuan, menggenapi kerja besar di penerbitan majalah Intisari (1963) dan koran Kompas (1965). Di dua terbitan, nama PK Ojong malah tak dicantumkan di edisi-edisi awal. Ia mendirikan dan memimpin tapi nama tiada di data redaksi. Pada masa 1960-an, nama PK Ojong agak bermasalah secara politik berkaitan kebijakan dan tanggapan-tanggapan ke rezim Soekarno. Nama mendingan tak dicantumkan asal kerja pers bergerak dan menempuhi jalan selamat (Tempo, Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982, 1981). Ia sudah mulai tekun di pers setahun setelah Indonesia merdeka. PK Ojong bekerja di Keng Po dan Star Weekly. Keputusan menekuni pers perlahan memoncerkan PK Ojong saat mendirikan Intisari dan Kompas, masih awet dan terbit sampai sekarang. Pilihan itu sempat mengecewakan ibu. Semula, PK Ojong diinginkan bekerja mentereng dengan memiliki gelar sarjana hukum. Kecewa ditebus dengan capaian dan keteladanan.
Bekerja di pers memungkinkan PK Ojong memiliki pergaulan di kalangan sastra dan seni. Selama di Star Weekly di masa 1950-an dan 1960-an, PK Ojong memberi kegirangan pada kemauan menulis para pengarang: Rendra, Ramadhan KH, Harjadi S Hartowardojo, Ajip Rosidi, dan Pramoedya Ananta Toer. Ia mengalami pergaulan dengan kaum buku. Perkenalan dan pergaulan itu memastikan PK Ojong sanggup turut mengurusi Horison meski ia bukan sastrawan. Pada buku dan penulis, PK Ojong memberi penghormatan besar.
Di buku berjudul PK Ojong: Hidup Sederhana, Berpikir Mulia (2001) susunan Helen Ishwara kita membaca kegandrungan PK Ojong membeli, membaca, dan membagi buku. Helen Ishwara mengisahkan: “Buku catatan harian PK Ojong penuh judul buku, tanggal, dan harga pembeliannya. Ia rajin menjelajahi toko buku, buku baru ataupun bekas. Kalau menginap di Bandung, di rumah sahabatnya semasa di HCK, Liem Boen Tik, ia bukan hanya senang nongkrong makan sate di kota sejuk ini, tetapi juga tidak lupa pergi ke pasar loak, tempat buku-buku bekas digelar.” Ke pelbagai kota, ia berpikiran selalu belanja buku. Ia terlalu memuliakan buku sampai berani bertindak membagi buku-buku ke teman-teman sedang bermasalah politik dengn rezim Soekarno.
Sejak remaja, ia memilih buku menjadi kompas hidup. PK Ojong membaca buku-buku mengenai sejarah, hukum, kesenian, kesusastraan, humaniora, sosiologi, jurnalistik, sains, filsafat, psikologi, tanaman, fotografi. Nama para penulis tercatat pernah digemari PK Ojong: Multatuli, Tulis Sutan Sati, Abdul Muis, M Yamin. Buku-buku biografi para tokoh besar dunia pun jadi santapan: Marco Polo, Ibn Batutta, Ibn Khaldun, Goethe, Gandhi, Aristoteles. Kitab suci turut dibaca dengan keseriusan. Ia pun menekuni tafsir Al Quran. “Sampai akhir hayatnya, PK Ojong terus membeli buku dan membaca. Bahkan ia meninggal dengan buku di sampingnya pada tahun 1980,” tulis Helen Ishwara. Buku terakhir sempat dibaca PK Ojong berjudul The Birth of the Messiah.
Mochtar Lubis mengenang keunikan dan kebaikan PK Ojong berkaitan buku. Selama mengalami penahanan, Mochtar Lubis selaku pemberi kritik keras pada rezim Soekarno mendapat perlakuan mengejutkan dari PK Ojong. “PK Ojong membawakan buku-buku untuk saya,” kenang Mochtar Lubis. Buku-buku mencipta janji mereka bersama mendirikan majalah Horison. Mochtar Lubis mencatat: “Ojong sejak semula memberikan perhatian yang amat besar pada majalah ini, dan tanpa bantuannya (sering juga berupa bantuan pinjaman uang jika kas Horison sedang kosong), maka majalah ini tidak akan dapat panjang umur.” Kerja itu berlanjut ke pendirian Yayasan Obor. Kita mengenang dengan terbitan buku-buku bertema pertanian, demokrasi, sastra, lingkungan hidup, dan lain-lain. PK Ojong memang fanatik buku.
PK Ojong, nama teringat oleh Arief Budiman sebagai penulis esai-esai dan penerjemah. Pada suatu hari, Arief Budiman dan teman rampung menerjemahkan Orang Asing gubahan Albert Camus. Mereka berniat mengajukan itu ke Star Weekly. PK Ojong “menolak” gara-gara naskah itu berat bagi pembaca. Jawaban berlanjut ke penasaran. PK Ojong kagum pada Arief Budiman selaku penerjemah masih berpredikat murid SMA. Penolakan itu memberi pengantar perjumpaan dan pertemanan dua manusia bakal turut memberi pengaruh alur intelektual di Indonesia.
Di mata sekian orang, PK Ojong itu kaku, tegas, necis, dan aneh. Mamak Sutamat (2007) mengenang: “PK Ojong posturnya mirip Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura. Sehari-hari mengenakan celana warna gelap dan baju putih lengan pendek. Jarang tersenyum, tetapi kalau sudah tertawa bisa terbahak-bahak. Jalannya cepat, lurus, jarang tengok kiri kanan, sesekali memperbaiki kacamata tebalnya. Ia tampak sebagai sosok yang keras memegang prinsip, lurus tak (bisa) terbelokkan.” Penampilan tokoh di masa 1950-an dan 1960-an menganut kerapian ingin memberi kabar ke orang-orang mengenai kerja keras, bukan pamerang gengsi. Kita mengimajinasikan jenis penampilan itu berulang di masa sekarang dengan pembesaran seruan kerja, kerja, kerja.
Pada masa berbeda dari kerja keras PK Ojong, penulis ampuh bernama Goenawan Mohamad (2015) kembali mengingat ketokohan pendiri Intisari dan Kompas itu di peristiwa peringatan 40 tahun Gramedia Pustaka Utama. Warisan-warisan PK Ojong berupa industri majalah, koran, dan buku bertumbuh sampai sekarang dan memberi tanda besar di lakon keaksaraan Indonesia. Goenawan Mohamad menganggap PK Ojong “penulis dengan bibliografi memadai.” Kita mengartikan PK Ojong rajin membaca buku dan memiliki acuan di buku-buku babon dalam mengerjakan tulisan. Ia pemulia buku. Goenawan Mohamad mengaku pernah menemani PK Ojong mengantarkan buku berjudul A School fo Dictator gubahan Ignazio Silone pada Mochtar Lubis saat menghuni penjara. Mochtar Lubis itu tahanan rezim Soekarno, ingin terus berbuku di hari-hari terpenjara.
Di mata para intelektual dan penulis masa lalu, PK Ojong itu pemberi buku-buku tak membedakan etnis, agama, dan aliran politik. Para pemulia buku bakal mendapat kebahagiaan dengan pemberian dan pengiriman buku-buku dari PK Ojong. Buku-buku bermutu dan sekian buku adalah import. PK Ojong tak ingin sendirian menjadi pembaca buku di Indonesia membara politik. Ia berpihak ke para pembaca berjanji memajukan dan memuliakan Indonesia. PK Ojong seperti mengimajinasikan Indonesia itu berpeta buku atau bergelimang buku. Ia ingin ada kewarasan, kelurusan, ketulusan menjalani hidup berbangsa-bernegara dengan buku. Ia sengaja memberi persembahan buku bagi Indonesia. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022
nopal
keren!!