Tak Usah Menyalak
segala kembali melambat
renyuh tenggelam
mengatup hingga tertelan
malam tiga titik dalam dadu
ada yang terkatung nasib matanya sendu
esok pagi dia bangun dengan tak tahu
bila menemukan tuhan ia kehilangan diri
kemarikan sebotol lagi dan biarkan ia berdiri
mabuk menuju mati
remah beling bekas berkaca itu dipecah bibirmu
wajahmu tiada dua
duhai manisku yang di langit
cukup sekali kuhitung luka di air mata itu
musik sudah padam
yang masih bergoyang biar bergoyang
dimainkan angin. tak usah ditanya
kesenangan tak usah ditanya
usai pesta kembali senyap
kembali lambat dan terkutuk
tiap orang menyimpan kesepiannya
nujum berdenyar petir silakan menyambar
dada kadung kerontang
sebentar lagi sebentar
aku hilang, hilang, ilalang oh bergoyang
oh angin. oh pagi. sebentar lagi
aku mau terkapar
tak usah menyalak
Saya Sudah Membaca
Oy, Adonai
Saya sudah membaca
Jadikan saya sempurna sehingga saya tidak butuh dipuji
dan saya menemani kau dalam keheningan
Seperti biji mahoni jatuh menari-nari
selalu begitu dengan atau tanpa penonton,
selalu begitu meski dikata pahit
Saya curiga kau memahat hati dari lumpur
Dalam rupanya yang buruk ia mudah digombali,
belum apa-apa sudah meleleh
baru diberi mandat sudah merasa raja
Dan naifnya, ketika kauberi ia kitab suci
ia justru merasa suci
Pasar Malam Datang Lagi
Pasar malam datang lagi ke kota saya,
dengan bianglala yang catnya pernah kita rusak
demi menulis nama: kau dan aku,
dan simbol hati
Pernah saya cium bibir itu hingga kau pejam
Di sepotong malam
Tak pernah padam memelihara rasa kehilangan
Saya ditemu-pisahkan dengan kau
barangkali untuk melahirkan tulisan ini,
yang kelak menenangkan hati banyak orang
Memang takdir saya dan kau
untuk menjadi martir, menjadi khidir,
menjadi kepingan timah
kalau-kalau timbangan tak adil
Toh rindu saya tak pernah tentang penaklukan
atau kepemilikan
Kau mengenang, saya mengenang,
dalam detak yang sama,
kita abadi
Mati Sebagai Orang Biasa
Meliuk-liuk
Melengkung
Menukik
Menetes ke langit
Tik… tik… tik…
Hamba. Siapa?
Menjadi buih di punggung samudera
Menjadi ombak napasnya angin
Hujan-hujan yang dingin
Tumpah ruah dari pipimu merah membara
Tuanmu tukang pukul
Ladang sawah tanpa cangkul
Tanpa gandum padi di bakul-bakul
Masih lagi mau kau pikul?
Malang betul
Orang-orang tumpul
Agamamu mengajarkan sabar
Budaya bilang raja tak boleh ditampar
Sungguh mulia engkau
Lalu anak dua belasmu disuapi dedak becek
Bekas bebek
Engkau cikalnya bangsa-bangsa
Watakmu memang untuk diperah
Mengalah
Pasrah
Dan jiwamu hanya murka kala
Tuhan tak di rumah
Takdir
Biar saja
Pagi masih gelap saat matamu kunang-kunang
Memandang surga
Mencelik siang menunda
Bunga lembah gugur melayang
Kau pun mati ditusuknya
Tidaklah percuma hidupmu menderita
Air yang turun dari mata laksana perahan jiwa
Agama
Budaya
Larung bersamanya
Kau tak lagi butuh identitas untuk eksistensi
Nisanmu semata kaki
Tak berharga
Tanpa nama
Tak ada lagi beban derita
Mati sebagai orang biasa
memang luar biasa
Makhluk Kasar
Makhluk kasar
Pemahaman kasar
Meraba-raba tuhan
Nemu koral
Disembah
Perut lapar
Bibir gatal
Nemu setan
Marah-marah
Oh, siapa salah
Siapa murah
Doyan mencekik
Kulit merah
Mata sebelah
Iblis akhir zaman
Bayangan Gelap di Dinding Goa
Cintaku. Sayang. Coba kemari
Aku butuh bersandar di ketiadaanmu
Jangan jauh. Jangan jauh. Habibah
Kerling matamu tertinggal di muka sujudku
Kulalui setapak malam dengan sabda
yang berangsur padam. Kelam. Rubi
Rindu tanpa haluan
Menafsir nada sebagai bilangan
Mereka sangka namamu kusakralkan
Tidak. Seroja. Kau memukau
Kau angin yang tersenyum
Kau bunga yang bernyanyi
Kau tuhan yang berkulit
Aku terlahir untuk mengeluh, dan kau, sayang,
duduk merapalnya sebagai doa
kepada bayangan gelap di dinding goa
Tapi di mana kekosongan ini bertepi. Sasmaya
Kekasihku
Pagi sudah berkarat sebelum diutus
Aku rindu pada nasihat di basah bibirmu
Gadis Kecil Jangan Mendua
O, Allah, O, Allah, O, Allah, O, senyum, yang baik, yang terbaik, O, malam, O, angin, yang hangat, yang terhangat.
Wajahwajah semesta tertawa, embun jatuh menggigit, api, O, api, berdebar, berdenyar, diam, dalam diam.
Kau yang tak di mana, kau yang tak siapa, wahai aku, kuasamu dalam darah dan daging, dan tanah, dan rimba kesendirian.
Yang liar punya bahasa, yang beradab saling memangsa, O, daun kelapa, neon dan beton, gadis kecil jangan mendua.
Dua Manusia
di neraka ada dua manusia yang jatuh cinta
tapi tidak satu sama lain.
di surga ada dua manusia yang saling memeluk
pada jarak langit dan bumi.
Terbuat dari Babi
Law,
bau keringatmu terbuat dari apa?
Orang bilang ini aroma babi
Aku sungguh suka
Kalau boleh mau kuendus lama-lama
lekuk lehermu
Biarlah aku keluar dari pesing agama
untuk cinta, cintaku padamu
dan mungkin untuk berahi
toh keduanya sama saja
Ketika ujung pena
tercelup ke liang tinta,
sebagai manusia kita berjanji,
menjadi satu
tanpa perlu saksi
Yang masih kanak-kanak
takkan mengerti
Tapi kau dan aku, dan siapa saja
yang sudah paham hakikat nikmat
tiada terpikir untuk khianat
Sumber gambar: energiamaya.org
- Di Mars Tak Ada Ka’bah - 4 August 2017
- Bersama Gardner,Mengintip Anton Kurnia dan Dunia - 31 December 2016
- Kepada Mama dan Sepiku - 28 June 2016
Nisrina Lubis
Aye reza