Tuhan Tidak Perlu Dibela (Refleksi atas Keriuhan Islam Kita Hari Ini)

    Sumber Gambar: Edi AH Iyubenu

Agar tak jadi guilt by association, menyalahkan dengan mengait-ngaitkan, saya perlu nyatakan tiga hal pada Anda di awal tulisan ini: pertama, membaca adalah hal yang mesti dilakukan sebelum berkomentar, kedua, judul tulisan ini saya adopsi dari salah satu tulisan Gus Dur yang dijadikan judul bukunya pula, Tuhan Tak Perlu Dibela, terbitan LKiS (1999) dan kemudian diterbitkan lagi oleh IRCiSoD (2018), dan ketiga, bahasa simbolis akan produktif maknanya bila dibebaskan dari kungkungan bunyi bahasanya.

Hakikat Tauhid

Imam Junaid al-Baghdadi, guru utama di Madrasah Sufi, Baghdad, yang pula merupakan salah satu guru Al-Hallaj, ketika ditanya tentang “Apa itu tauhid?”, beliau menjawab dengan menukil tuturan Abu Bakar ash-Shiddiq, “Maha suci Allah yang telah memberikan ketidakmampuan kepadaku untuk mengetahui apa pun tentangNya kecuali dalam ketidakmampuan itu aku bisa mengetahui apa pun tentangNya.”

Tekanan konsep tauhid Imam Junaid al-Baghdadi adalah “ketidakmampuan merumuskan apa pun tentang Allah”. Kalau kemudian kita menarasikan tauhid sebagai “la ilaha illallah” atau “la haula wala quwwata illa billah” atau “inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin” ataupun seperti ungkapan ayat 29 surat al-Hadid, dlsb., maka semua itu mesti diletakkan sebagai hanyalah serpihan-serpihan narasi lisani maupun rohani yang “bukanlah Hakikat Allah”. Sebab pegangan pokok kita ialah “kita tak memiliki kemampuan” untuk mengetahuiNya kecuali diberi kemampuan (dalam pelbagai bentuk dan sudutnya) olehNya untuk mengungkapkanNya dalam narasi begini atau begitu.

Makanya, Imam Junaid al-Baghdadi “menolak” ekspresi-ekspresi ekstrem kemakfiratan, seperti ittihad dan wahdlatul wujud (antropomorfisme), dan memilih menggunakan sebutan tauhid—kadang pula beliau menyebutnya ‘arif—sebagai puncak pergumulan manusia dan Allah—kendati secara ontologis sejajar dengan antropomorfisme. Ini bisa dilacak dengan lebih tegas pada ungkapannya perihal fana yang menghantar pada ketenteraman hati manusia sebagai buah langsung dari lelaku hidup “ketidakhadiran dalam kehadiranNya”. Serupa tuturan Imam Ghazali perihal fana sebagai fase pertama bagi jalan tajalli, mukasyafah, dan musyahadah.

Ungkapan diskursif Imam Junaid al-Baghdadi ini—sengaja saya sebut “diskursif” karena bagaimanapun ia adalah narasi bahasa yang profan atas gelora rohani sufistik yang sakral—juga menjadi lelaku diskursif dan amaliah para pengamal tasawuf secara umum. Termasuk Gus Dur.

Ya, tak ada keraguan sedikit pun bahwa Gus Dur adalah seorang cendekiawan muslim kritis terkemuka yang sekaligus ahli betul meracik dan meletakkan realitas sosial-politik-budaya dalam perspektif tasawuf. Di antaranya terlihat jelas dalam tulisannya “Tuhan Tak Perlu Dibela” tersebut. Ia menukil Al-Hujwiri, salah satu pemuka sufisme, melalui tuturan seorang tokoh ulama yang dijadikan naratornya: “Bila engkau menganggap Allah itu ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tak perlu disesali kalau Dia menyulitkan kita. Juga tak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya.”

Perhatikan dengan saksama: “Bila engkau menganggap Allah itu ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir.” Benang merahnya setara dengan paparan Imam Junaid al-Baghdadi, yakni “ketidakmampuan manusia merumuskanNya”. Usaha merumuskanNya sebagai yang begini atau begitu adalah pengingkaran pada ketidakmampuan diri dan sekaligus kemahaan Allah. Jelas itu adalah suatu kelancangan yang tak terperikan.

Mabuk Allah dan Mabuk Agama

Kondisi mabuk adalah suatu keadaan ekstase yang menjadikan pelakunya melampaui realitasnya. Manusia yang lemah bisa menjelma kuat saat mabuk. Orang penakut bisa menjadi pemberani kala mabuk. Gunungan masalah yang membuatnya depresi dirasakan kecil belaka dalam keadaan mabuk.
Situasi ekstase tersebut juga dialami para sufi kala “mabuk Allah”. Ia menjadi melampaui realitasnya muasalnya sebagai manusia. Abu Yazid al-Bushtami dalam mabuknya mengatakan, “Innani anallah la ilaha illa ana, Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada Tuhan selain aku”, Rabiah Adawiyah meraung-raung kepadaNya, “Siksalah aku, siksalah aku, karena dalam siksaMu aku menemukan Cinta”, Maulana Rumi mengungkapkan, “Luka adalah pintu bagi masuknya Cahaya”, hingga Syekh Siti Jenar yang menderumkan ungkapan-ungkapan manunggaling kawula Gusti, dll. Ungkapan-ungkapan mabuk Allah begini jika dicerabut dari konteks rohaninya, sontak hancurlah marwah sakralnya. Mata profan hanya akan mengoyaknya dalam kejalangan yang mengerikan.

Jika mabuknya pemadat bersumber pada hilangnya akal akibat pengaruh alkohol atau zat adiktif, mabuknya para sufi bersumber pada gelora rohani yang bersitaut hanya kepadaNya. Di permukaan, keduanya tampak sama-sama “hilang akal”. Tapi pada alam hakikinya, rohaninya, keduanya mengaras pada medan yang berbeda. Yang pertama adalah kekelaman jiwa, yang kedua adalah kecemerlangan jiwa. Yang kelam dan cemerlang tidaklah pernah sejajar meski berwajah lahiriah sama.

Jika hari ini Anda mengalami atau menyaksikan seseorang yang menangis tersedu-sedu dalam shalat, atau sujud, atau dzikir, atau dendang shalawatnya, itulah contoh ekspresi “kemabukan Allah”, ekstase rohani. Jika Anda pernah mengalaminya sendiri, Anda pasti ingat betapa guruh perasaan-perasaan batin transendental itu begitu hebatnya mengurung, lalu menggerus, dan menghilangkan diri manusiawi Anda, sehingga Anda memasuki detik-detik tanpa diri lagi. Anda mem-fana!

Anda menangis, ya akan menangis begitu saja; Anda meratap, ya akan meratap begitu saja; Anda merasa tiada makna, tiada daya, ya begitu sajalah perasaan-perasaan dhaif itu menguasai diri; Anda merasakan kelezatan kepasrahan tanpa batas kepadaNya, begitulah ekstase itu bekerja.

Tiada Tuhan selain Allah, tiada selainMu selain Engkau, semua terjadi semata karena Engkau, aku pun semata bagian dari Engkau, aku adalah Aku—ya, sejenis itulah ruahan perasaan yang terbetikkan atau terungkapkan kemudian dalam narasi bahasa atau realitas. Bahasa begitu fakirnya memang untuk mampu mewakili kabar-kabar apa pun perihal ekstase rohani. Bahasa adalah pengkhianat yang paling keji bila tidak diwaspadai dengan saksama oleh para penerimanya.

Itu benar-benar tak sama dengan kondisi mabuk agama. Begini cara meletakkan perbedaan Allah dan agama dengan sederhana.

Apa pun bentuk yang disebut agama kita, kita anut, dan kita amalkan kini, kendati segala ekspresinya dimaksudkan untuk menyembah Allah, beribadah padaNya, mematuhi semua perintah dan menjauhi semua laranganNya, pahamilah selalu ia sebagai konseptualisasi kita semata. Pembumian nilai-nilai Langit ke nilai-nilai bumi.

Betul, kita memiliki sumber doktrinnya, yakni al-Qur’an, yang bisa kita baca dan kaji sampa hari ini. Betul, kita memiliki warisan dari Nabi Muhammad Saw. berupa hadits dan sunnahnya. Betul, kita memiliki banyak sekali khazanah rujukan kitab dari para ulama terdahulu.

Namun mari berendah hatilah bahwa bangunan Islam yang kita genggam, anut, dan amalkan kini adalah semata “agama kita”, bukan Allah—dalam artian, agar Anda tak salah tangkap, “belum tentu sebenarnya Allah”. Ia hanya jalan, di antara bentuk-bentuk jalan, yang kebetulan saya atau Anda menapakinya untuk menujuNya. Ini bukan perihal benar/salah, ini sepenuhnya perihal konseptualisasi kita tentang Allah, tentang rasulNya, tentang al-Qur’an, tentang hadits dan sunnahnya, tentang tafsir dan pemikiran, yang tentu saja tak steril dari kompetensi-kompetensi dan tendensi-tendensi.

Pada konteks fiqh, misal, ada 20 mazhab otoritatif yang disepakati secara aklamasi oleh perwakilan para ulama sedunia waktu mereka melakukan kongres umat Islam di Kuwait bertahun silam. Di antaranya ada 4 mazhab besar yang kita familier, yakni Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafii, dan Mazhab Hanbali. Keempat imam Mazhab yang hidup di zaman dan tempat berbeda ini, walaupun jelas sepenuh-penuhnya merujuk pada al-Qur’an, sunnah, dan warisan pemuka Islam sebelumnya—bahkan rujukan-rujukannya masih dari kalangan tabi’in dan tabi’it tabi’in—dan kompetensi keilmuan mereka begitu luar biasa, plus dedikasi adiluhung mereka kepada marwah Islam yang tak perlu diragukan sedikit pun, nyatanya tetap menisbatkan keragaman bangunannya.

Imam Hanafi dikenal dengan karakternya yang mengoptimalkan nalar analogis (qiyashi), Imam Malik dikenal dengan perujukannya secara dominan pada khazanah tradisi Madinah, Imam Syafii dikenal penuh kehati-hatian namun tetap mengakomodir khazanah adat dan tradisi secara moderat dan tak segan merevisi pandangan lamanya dengan pandangan barunya, dan Imam Hanbali dikenal dengan karakter tekstualisnya. Semuanya berbeda tendensi, karakter, sehingga logislah mewariskan keragaman bangunan konseptualisasinya pula.

Apalagi di zaman kita kini! Apalagi dalam bentang waktu, jarak, dan dinamika khazanah kehidupan riil umat Islam yang telah melimpas jauh, luas, dan sekaligus penuh kekhasan antarwilayah, mustahil tidak membuhulkan corak-corak yang kuat pada bangunan Islam setiap kita, bangunan-bangunan agama yang masing-masing kita menyatakannya “Islam”. Mustahil kita memaksakan wajah Islam haruslah satu!

Karenanya, secara kognitif kita mesti memafhumi betapa “Islam Allah” adalah satu hal dan “Islam kita” adalah satu hal lainnya. “Islam Allah” adalah satu, namun “Islam kita” adalah banyak corak dan bangunannya. Mestinya, dengan kejembaran nalar tersebut, semua kita mampu dengan mudah menerima realitas kamajemukan “Islam kita” sebagai kehendakNya belaka. Sekali lagi, jauhkan prasangka benar/salah pada konteks ini. Kalau Anda tetap ngotot perihal benar/salah di hadapan kemajemukan ini, jelas bukan Andalah hakimnya, tapi semata Allah, nanti di akhirat.

Sayangnya, kita malah lebih mudah menyaksikan dengan mata telanjang di hadapan kita sendiri hari ini betapa perbedaan—bahkan dalam banyak hal telah melimpas jadi perpecahan dan permusuhan yang amat disayangkan—corak-corak bangunan Islam tersebut lebih kerap menjadi medan masalah sosial kebangsaan kita.

Ada kalangan yang menyatakan khilafah sebagai jalan Allah dalam pemerintahan sehingga postur Negara Islam adalah kewajiban, berhadapan dengan kalangan yang menyatakan demokrasi adalah sistem pemerintahan yang telah islami. Ada pula yang menyatakan liwa’ dan raya’ adalah semata simbol politis, berseberangan dengan kalangan yang menyebutnya sebagai simbol tauhid yang kudus. Ada yang menegaskan orang Islam harus berpolitik praktis, berseberangan dengan mereka yang menyatakan sebaliknya. Ada yang memekikkan bahwa Islam meliputi segala aspek kehidupan manusia secara paripurna sehingga semuanya harus merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah RasulNya, berseberangan dengan kalangan yang menyatakan Islam hanya meletakkan pilar-pilar prinsipilnya (maqashidus syariah), adapun teknis-teknisnya bersifat dinamis relatif sesuai dengan realitas zaman dan terserah pilihan praktis umat Islam. Dan sebagainya.

Jika ini membuat kita kelu, baiklah, mari ajukan pertanyaan kritisnya: “yang manakah sebenarnya yang sesuai tuntunan Allah dan RasulNya?”

Saya dengan mantap akan mengatakan: semuanya benar pada dirinya sendiri—selazim semuanya menyatakan benar. Pada derajat inilah, seyogianya semua kita, dalam ragam corak bangunan keislaman yang kita yakini dan ikuti, memahami dan menjunjung betul betapa justru di situlah letak Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Bahwa semua perbedaan adalah bagian dari rahmat Allah. Bahwa kamajemukan corak bangunan itu adalah keniscayaan alamiah, yang bukan hanya terjadi di hari ini, tapi telah terjadi di masa silam yang sangat jauh, jauh sekali, tepatnya sesaat setelah mangkatnya Rasululah Saw. Dan karenanya tiada lain selain bertoleransi sebagai ekspresi terbaik kita di tataran sosial majemuk hari ini.

Para sahabat terbelah jadi dua bagian antara mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai penerus Nabi Saw. atau Ali bin Abi Thalib. Lalu terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama melalui mekanisme ahlul halli wal ‘aqdi. Lalu digantikan oleh Umar bin Khattab dengan mekanisme wasiat khalifah sebelumnya. Sepeninggal Umar, para sahabat terbelah lagi jadi dua kelompok, yakni kalangan yang dimotori Bani Umayah dan kalangan yang dimotori pendukung Ahlul Bait. Terpilihlah Ustman bin Affan. Hingga terjadilah pembunuhan terhadap Utsman akibat sesaknya deraan ketidakpuasan politik yang sekaligus memantik dengan sangat hebat eskalasi sosial politik umat Islam masa itu. Ali bin Abi Thalib lalu dibait di antara gejolak yang luar biasa beratnya. Ia harus merangkul banyak wilayah dan kalangan yang terbelah-belah. Terjadilah insiden Perang Jamal yang ditingkahi fitnah dan provokasi Marwan bin Hakam—sebagian riwayat menyebutkan nama Abdullah bin Saba’, namun Imam Ath-Thabari menyatakannya tidak ada—dan puncaknya ialah Perang Shiffin yang membuat Ali bin Abi Thalib harus berhadapan dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Keduanya jelas adalah sahabat dekat Rasulullah Saw. Sama-sama mengimani dan berguru langsung kepada beliau.

Ontran-ontran politik menjadikan situasi persahabatan itu sedemikian pelik dan keras. Lalu Ali bin Abi Thalib memilih perdamaian tatkala pasukannya nyaris memenangkan peperangan. Dan meletuslah pemberontakan Khawarij yang kecewa terhadap keputusan tahkim tersebut. Tiga pemuka Islam divonis kafir dan halal darahnya oleh kaum Khawarij, yakni Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan Amr bin Ash. Terjadilah tragedi pembunuhan terhadap Ali bin Abi Thalib di waktu Subuh, dengan aktor utama Abdurrahman bin Muljam—sang hafiz, sang ‘alim, sang ahli ibadah.

Di era yang sepenggal periode dekat betul dari kehidupan Rasulullah Saw., bangunan (politik) Islamnya telah begitu rupa majemuknya. Maka, bila hari ini ada di antara kita yang menyerukan diri sebagai penganut Islam yang paling benar dan selainnya salah, sesat, kafir, sungguhlah itu cara berislam yang egois berlebihan dan bahkan kemalangan bila ditakik pada pekikan Khawarij Abdurrahman bin Muljam saat menebaskan pedangnya ke kepala Ali bin Abi Thalib: “La hukma illa hukmullah, tiada hukum selain hukum Allah!”

Hari ini, kumandang pekikan sejenis begitu rapuhnya untuk dikulik dengan sekadar mengajukan pertanyaan reflektif: “Yang model bagaimana yang Anda maksudkan hukum Allah? Anda punya fiqh bercorak A, kami punya fiqh bercorak B, Anda merujuk kepada al-Qur’an, hadits, dan ulama yang Anda ikuti, kami pun melakukan hal yang sama kepada imam-imam kami, kami juga punya basis metodologi ilmu, maka yang manakah di antara kita yang paling tepat dan benar dinyatakan penuh paksa sebagai hukum Allah yang haq?”

Tak ada ujungnya! Selain perselisihan, perpecahan, dan bahkan permusuhan. Situasi yang tak sepantasnya kita huni dengan dalih apa pun, bahkan atas nama membela Allah.

Nasihat Al-Hujwiri, sebagaimana dinukil Gus Dur, tersebut (Tuhan tidak perlu dibela) secara semantik jelas bukanlah tiadanya cinta, pengabdian, dan dedikasi seorang muslim penyerunya—ya saya, ya Anda—kepada al-Qur’an dan sunnah RasulNya. Jika Anda menudingnya sebagai pengabaian pada Allah, sehingga karenanya terkesan kurang beriman dan beribadah padaNya, itu semata diakibatkan oleh guilt by association yang bertumpuk di kepala Anda sendiri, dengan mengait-ngaitkan iman orang, ibadah orang, dan bahkan denyar rohani orang pada tendensi material yang sedang Anda ikuti atau bela. Itu jelas adalah pendangkalan makna yang menjadikan kita semua tak produktif, apalagi berkebaikan antarsesama.

Umpama Anda adalah bagian—atau bahkan pemuka—dari gerakan demo berjilid-jilid yang mengatasnamakan bela Islam, bela ulama, hingga bela tauhid itu, tendensi tersebut tak sahih secuil pun untuk diasosiasikan sebagai alat penghukuman kepada pihak lain yang tidak ikut atau bahkan kritis kepada Anda sebagai bukan muslim yang hanif. Tidak berarti mereka yang tidak ikut berdemo bersama Anda, atau bahkan secara terbuka mengkritisi Anda, sahih dituding berkurang imannya kepada Allah, Islam, Rasulullah Saw., dan para ulama, apalagi dinista rendah derajatnya. Tidak berarti orang yang tidak sebarisan bersama Anda yang mengusung-usung bendera tauhid ke jalanan ditingkahi pekik-pekik takbir yang membahana di siang terik itu kalah tawakal, ikhlas, dan khusuknya kepada Allah.
Lancangnya kita berani-beraninya memvonis kekaffahan iman orang lain!

Sejatinya, perihal kedalaman rohani semacam ini semua kita telah mafhum dengan begitu mudahnya. Hanya saja, gelora-gelora tendensi dan kompetensi itulah yang kemudian mengotorinya dan menjadikannya rumit dan pelik, seolah kita bukan lagi saudara seiman dan seagama.

Jogja, 3 November 2018

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!