Hadiah terindah itu waktu. Hadiah tentu berwujud. Waktu di imajinasi dan ide belum dapat diberikan ke kekasih untuk kenangan sepanjang masa. Waktu itu berupa arloji. Di tangan, waktu bergerak ditatap mata. Hadiah di peristiwa sakral dan pergantian tahun. Waktu semakin perlu.
Di majalah Tempo, 15 Desember 1984, iklan berwarna sehalaman. Lelaki dan perempuan di adegan ceria. Lihatlah pula pohon Natal. Di meja, ada bunga dan benda-benda. Jendela kaca itu masih mengabarkan terang. Lelaki dan perempuan ada di dua peristiwa: Natal dan tahun baru. Mereka tampak sedang bermain kegirangan. Oh, si perempuan ingin “merebut” benda dipegang tangan lelaki. Rebutan mustahil memicu marah! Rebutan itu indah.
Iklan dari Alba mengumumkan: “Natal dan tahun baru, kesempatan yang tepat untuk menghadiahkan sesuatu yang akan menjadi kenangan indah. Hadiahkan arloji Alba, akan menjadi suatu kenangan yang penuh arti bagi kawan, kerabat, ataupun ‘si dia’ tercinta di hari-hari Natal dan tahun baru ini. Dapatkan Alba untuk hadiah yang paling tepat dalam suasana istimewa ini. Alba menjadikan hadiah anda berarti.” Waktu itu hadiah. Arloji untuk kenangan indah.
Iklan itu tak pernah bersua dengan arloji dalam puisi gubahan Sapardi Djoko Damono. Puisi mengandung getir dan hadiah “terburuk” dalam biografi perempuan dan lakon hukum di Indonesia. Arloji mengingatkan peristiwa tak manusawi. Arloji di puisi mencatat aib besar pernah berlangsung di Indonesia masa Orde Baru.
Puisi berjudul “Dongeng Marsinah” digubah 1993-1996, puisi mengandung marah tapi tak ditulis dalam kondisi si pujangga marah. Puisi bertokoh Marsinah, buruh menanggungkan nasib buruk di sejarah hukum dan kemanusiaan. Sapardi Djoko Damono bukan membuat puisi-reportase atau puisi untuk orasi dalam demonstrasi. Ia justru bermain simbol-simbol ke arah pemaknaan tokoh, waktu, dan kemanusiaan. Puisi pun mengharukan.
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan pasti.
Marsinah itu arloji sejati
tak lelah berdetak
nemintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekadar hidup layak,
sebutir nasi.”
Marsinah memang buruh. Di berita-berita mengenai kasus besar di Jawa Timur, Marsinah bukan buruh pabrik arloji. Sapardi Djoko Damono sengaja mengajukan permainan ingatan ke arloji Siasat imajinasi “mengalami” kebersahajaan dan derita Marsinah di gerak waktu. Buruh mengerti waktu adalah kerja. Waktu cenderung dibentuk nalar kapitalisme oleh kaum majikan. Buruh ingin waktu manusiawi. Bekerja tapi masih memungkinkan memiliki hakikat waktu bagi hal-hal di luar pekerjaan.
Waktu milik Marsinah dihentikan secara biadab. Ia mati mengenaskan, diratapi jutaan orang di Indonesia. Kematian dengan pemaksaan kehendak ke buruh cuma ingin sempat bahagia dalam hitungan waktu tak panjang. Marsinah mengobarkan seribu tanda seru di Indonesia. Ia dikenang bersama waktu.
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini:
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi
Kita tatap wajahnya
setiap pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.
Para pecandu puisi-puisi gubahan Sapardi Djoko Damono mungkin tak terlalu memilih puisi itu terampuh dalam laku estetika berpihak. Puisi pernah dimuat di buku berjudul Ayat-Ayat Api (2000), memberi panggilan ke pembaca mengerti buruh dan waktu. Pengertian dihancurkan oleh kaum majikan dan rezim sisakan hal-hal belum terjawab penuh. Sapardi Djoko Damono mengajak kita mengingat: “Marsinah itu arloji waktu.” Marsinah, perempuan mencipta sejarah melawan demi percik bahagia di waktu terasa fana.
Marsinah bukan seperti perempuan dalam iklan jam tangan mewah di Tempo, 25 April 1981. Perempuan anggun dan jam tangan berkilauan. Iklan bertaburan kata-kata memuja. Iklan untuk kaum berduit, bukan kaum berkeringat dengan gaji kecil dan derita sulit tamat. Si perempuan diandaikan berbisik: “Salahkah bila pilihanku begitu mahal?” Kita belum mau menimpakan salah. Ia memilih waktu di tangan ingin indah dan memukau. Perempuan itu memilih jam tangan Audemars Piguet.
Perempuan menjadi arloji atau jam tangan di imajinasi paling memikat. “Si jelita ini sungguh pipih dan hidup. Setiap gerak hidupnya bermula dengan gosokan intan, lalu dengan tir dari pohon kayu tua dan akgirnya dengan kelembutan kulit rusa. Si jelita benar-benar mahal,” tulis di iklan. Lelaki memberi “si jelita” ke perempuan pujaan sambil menajwab: “Kau tidak salah bagi kejelitaan seperti ini.” Waktu itu jelita. Kita melihat kejelitaan di tangan perempuan. Kejelitaan berbeda metafora buatan Sapardi Djoko Damono saat mengingatkan waktu di tangan ke Marsinah. Puisi dan iklan tak harus berkaitan. Kita iseng saja mengingat puisi dan iklan, sebelum kepala kita sesak ingatan hal-hal mutakhir berisiko melupa masa lalu.
* * *
Waktu tak selalu di tangan. Waktu pun di dinding rumah. Pembuat “dinding waktu” di kesusastraan Indonesia bernama Sitor Situmorang. Ia belum mengenakan arloji di tangan. Mata terus mengarah ke jam dinding untuk sekian peristiwa, ingin, dan ingatan. Di puisi Sitor Situmorang (1955), waktu ada di pengentalan imajinasi anak-bapak dalam situasi filsafat. Dulu, si pujangga pernah dituduh penganut “iseng” meski memberi jawaban berupa puisi-puisi terlempar dari kubangan eksistensialisme. Puisi berjudul “Anak dan Waktu” terbaca di masa Indonesia berurusan waktu memburu dan pemicu lesu.
Si anak terhenti memandang djam,
Berpikir sungguh dengan diam,
Sedjenak terganggu arti dalam,
Dari pukulan djam dihari mala.
Tapi si anak tak hendak bertanja,
Sibuk kembali bermain-main
Lupa sudah ia kepingin,
Tahu hal djam serta tafsirnja.
Pada anak, waktu masih bisa dipandang dan diperlakukan dengan diam. Anak boleh melupa saat waktu terus saja melaju. Di dinding, jam itu memiliki detik-detik berputar, bukan sejenis mainan di pengertian anak. Pada bapak, waktu tak “seenteng” di tatapan anak. Sitor Situmorang menaruh bapak di dua bait berkebalikan dari permainan.
Si Bapak terlentang lesu,
Sarat suara serta waktu.
Kenangannja jang diburu,
Apa jang ia tak tahu.
Sitor Situmorang masih lugu, bercerita waktu dilihat dan dialami di rumah. Pemasangan jam dinding di rumah seperti pembeda dari pemilik jam tangan. Di dinding, jam itu cuma ditatap tanpa bisa dibawa bepergian. Pada masa 1950-an, keluarga memiliki jam di dinding menandai kemampuan duit. Jam mengartikan di keluarga itu sadar kerja, memusuhi malas, dan memiliki kehormatan di mata publik. Mereka itu keluarga berwaktu. Jam dinding bukan bendar murah. Jam itu ada di babak belum menjauh dari masa kolonial. Dulu, jam itu waktu milik kaum pejabat, bangsawan, saudagar, terpelajar, dan berduit. Rumah-rumah kaum melarat atau wong cilik sulit dipastikan dipasangi jam dinding. Jam tangan? Duh, benda itu semakin bermakna kehormatan di tertib kolonial dan pendefinisian jenis-jenis profesi di tanah jajahan. Orang-orang tak boleh sembarangan mengenakan jam tangan.
Dulu, orang-orang mengerti waktu saat melihat pohon, mendengar suara burung, merasakan angin, atau membaca langit. Pengetahuan lawas dalam mengerti waktu. Segala peristiwa keseharian dijalankan tanpa sibuk selalu melihat jam di dinding atau arloji di tangan. Pengetahuan cepat dilupakan di pilihan berwaktu dengan benda-benda ditaruh di pelbagai tempat dan terbawa raga jarang jeda. Lupa sempat disindir Goenawan Mohamad (2011) dalam setangkai kata puitis: “Pada satu titik pada arloji, pagi akan berhenti. Tapi ada sesuatu yang ramah dalam suara dan warna pagi yang sepertinya tak berhenti.”
* * *
Kita kembali lagi mengurusi jam tangan. Pilihan kita membuka majalah Tempo lawas, majalah paling sering memuat iklan-iklan jam tangan atau arloji. Iklan-iklan itu sesuai dengan kemengertian orang pada penamaan Tempo berkaitan waktu. Tempo edisi 9 Desember 1979 berisi iklan-iklan jam tangan, mengingatkan ke pembaca hal waktu menjelang 1979 berakhir dan menapaki 1980-an. Di halaman 17, iklan dari Seiko berslogan: “Kelak semua jam tangan dibuat seperti ini.” Pesan penting di iklan: “Baru, jam tangan Seiko Analog Quartz – berhari dan bertanggal.” Halaman 23, memuat iklan berwarna dari Omega berslogan: “Orang yang memakai Omega tahu alasannya.” Dua iklan itu penting bagi kaum lelaki ingin parlente dan terhormat. Lelaki berjam tangan itu dambaan masa 1970-an.
Konon, lelaki berjam tangan tampak jantan. Kita membuktikan dengan membaca iklan di halaman 43. Pengiklan adalah Rado, jam tangan produksi Swiss. Iklan diawali dengan tatanan kata: “Jantan dalam penampilan.” Iklan jam tangan memang wajib mahir dalam penggunaan kata. Pilihan kata menentukan orang mau berpikiran waktu dan membeli jam tangan dengan dalih-dalih paling bermutu. Iklan itu lelaki banget. Iklan menerangkan tipe pria “bertindak”, “tidak mengikuti arus”, “memimpin”, dan “mengambil keputusan.” Keterangan sampai ke bujukan terampuh: “Bagi pria inilah dimaksudkan jam tangan Rado Golden Horse, Golden Gazelle, dan Golden Castle. Perkasa dalam emas. Corak-corak klasik yang senantiasa berada dalam arus mode.” Jam tangan itu pasti mahal. Keinginan menjadi “jantan” perlu modal besar. Peringatan ke para lelaki: jam tangan itu jantan dan perlu.
Di Tempo, iklan-iklan tak melulu dibuat bagi lelaki. Di sampul belakang, kita bertemu iklan jam tangan untuk perempuan. Iklan “cantik” dan klasik. Girard-Perregaux menganut paham klasik, bukan mengikuti arus mode atau selera baru. Penjudulan iklan: “penampilan klasik.” Judul di bawah bingkai foto biatan 1893. Lihatlah, perempuan dari ratusan tahun lalu! Perempuan seribu pesona. Perempuan dari penetapan selera klasik.
Kaum perempuan di Indonesia boleh memilih dua jenis jam tangan perempuan dibuat dari emas dan berlian. Jam-jam pantas dibeli dengan pemahaman pembuat jam sudah membuktikan pengabdian ke waktu sejak 1791. Klasik itu diresmikan penjelasan: “Selama hampir dua abad keindahan yang tersendiri dan ketepatan yang tak ada bandingan dari pengkur waktu Girard Perregaux merupakan lambang kesuksesan dari seni membuat arloji yang tertinggi.” Pada masa 1970-an, orang-orang di Indonesia memilih beragam jam tangan. Pilihan-pilihan selalu berharga mahal tapi memberi dampak mujarab. Pemuatan 4 iklan jam tangan bermerek beda di Tempo itu secuil bukti ketimbang kita capek mencari dan menata puluhan puisi belum tentu memiliki pengisahan ke selera waktu masa lalu. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022