“Dua Dunia” Eko Triono dan Pilihan Estetiknya (Bedah Cerpen-Cerpen Eko Triono)

dua dunia eko triono
Sumber gambar evilsister.blog.com

 

“Sastra itu menyenangkan, sebagian lainnya memberikan pelajaran.”

(Edgar Allan Poe)

 

Ignas Kleden memetakan “jagat karakter” penulis sastra (penulis) pada dua pilihan dunia: realias dan surealis.

Realis dalam perkembangannya menjadi “sikap politik”, keberpihakan penulis kepada masalah-masalah real sekitarnya. Dari urusan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan bahkan agama. Umumnya, penulis realis mengangkat masalah-masalah ketimpangan hidup secara politis-kritis. Tentu, boleh pula disebut beroposisi. Berpihak, mengkritik, mendekonstruksi, atau merekonstruksi.

Anda bisa mudah menemukan gaya-gaya seperti ini dalam khazanah cerpen koran. Gaya realis, secara historis, bahkan merupakan kecenderungan mainstream sejak dulu kala. Dari era Siti Nurbaya Marah Rusli, tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, hingga Saksi Mata Seno Gumira Ajidarma. Kalangan ini umumnya mengusung ideologi menulis: karya sastra haruslah memberikan sumbangan nyata kepada kehidupan. Pada Seno, misal, kita bisa dengan terang membaca kredo: ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.

Di sebelahnya, terdapat sekelompok penulis sastra yang membebaskan diri dari belenggu “tugas sosial” itu. Mereka menulis sastra untuk jagat sastra itu sendiri; tanpa beban kritik atau tendensi sosial apa pun. Bahkan dalam berbagai epistemologi sastra yang mereka dengungkan, mereka lugas menukas bahwa apa yang dimaksud sastra ialah kesusasteraan itu sendiri. AS Laksana merupakan contoh yang membela arus ini. Di sastra dunia, kita bisa menyebut nama Jorge Louis Borges.

Saya aslinya cukup merasa riskan dengan istilah “surealis” dalam peta kedua ini, sebab tak seluruh penulis karakter kedua yang antah-berantah ini menggunakan gaya surealisme, ataupun realisme-magis. Penggunaan peta Kleden ini sekadar saya maksudkan sebagai jalan untuk memahami adanya dua perbedaan pilihan karakter yang sungguh nyata adanya.

Namun demikian, saya menolak tegas relasi dikotomi-hierarki-negasi antarkarakter itu. Buat saya, semua pilihan karakter itu sama sahihnya, dalam dunia masing-masing.

Lantas, di manakah Eko Triono berada?

“Dua Dunia” dalam “Satu Eko”

Sejujurnya, saya tak karib dengan cerpen-cerpen Eko. Tentu ini semata masalah saya dalam mengikuti cerpen-cerpen kontemporer dari para penulis kontemporer. Saya harus mengakui hal ini lantaran begitu saya berusaha mencari informasi tentang Eko, ternyata beliau sudah banyak menulis cerpen yang sebagian di antaranya dipublikasikan di Kompas yang notabene kita puja sebagai “berhala sastra koran” hingga hari ini.

Dalam cerpennya yang berjudul “Ikan Kaleng”, Eko memilih watak realis. Membidik ketimpangan ekonomis para nelayan di pelosok Jayapura yang terus-menerus dijadikan tumbal kapitalisme regional/global. Keberpihakan Eko pada apa yang saya maksudkan di bagian awal tentang sastra sebagai “corong politik” membela kaum lemah (realitas) terlihat sangat jelas. Apalagi gaya tutur cerpen itu, sebutlah dalam aspek kebahasaannya, begitu membumi, lugas, mudah dipahami.

Ini satu dunia yang digeluti Eko.

Tetapi Eko juga menggeluti dunia kedua, dunia “sastra untuk sastra”. Ini saya temukan dalam cerpennya yang berjudul “Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon?”.

Cerpen ini sungguh jauh berbeda dengan cerpen Eko yang lain, baik secara pilihan tema, eksplorasi ide, gaya bahasa, gaya tutur (plot, karakter, setting, konflik, dan lain-lain.). Saya perlu membaca sampai tiga kali untuk bisa memahami dan menikmati cerpen ini.

Ada beberapa esensi dalam cerpen Eko ini yang “menjadikannya berbeda” dengan lazimnya pandangan masyarakat umum memahami cerpen; tepatnya karakter cerpen realitas pertama.

Pertama, ide. Idenya sebenarnya sederhana, tetapi menjadi tidak sederhana lagi karena Eko mendekatinya dengan, sebutlah, “Psikologi Imajinasi”. Bayangkanlah, bagaimana mungkin dan apa relevansinya memikirkan sebuah jenis agama untuk pohon-pohon?

Saya kurang setuju dengan klaim beberapa pengamat sastra yang menyatakan bahwa “ide-ide dalam karya sastra kontemporer hanya berkutat itu-itu saja, tetapi yang bisa dibanggakan ialah berkembangnya gaya bercerita.” Saya berpikir, “masih adakah yang baru di muka bumi ini?” Entah, meski dengan skeptis saya cenderung mengatakan “tidak ada”. Lantas, jika mengekori klaim pengamat sastra tersebut, apakah para sastrawan hanya bisa menjangkau wilayah gaya tutur? Bukankah ide sangat penting, bahkan menjadi ruh dari cerita itu sendiri?

Inilah yang ingin saya buktikan berhasil dibantah oleh cerpen Eko tersebut, misal (saya ingin menyebut beberapa cerpen Dea Anugerah sebagai contoh lainnya). Eko mengeskplorasi “ide kecil” itu menjadi begitu besar, luas, meraksasa, melangit, berkat pertolongan Psikologi Imajinasi tadi. Mengikuti Jean-Paul Sartre, imajinasi ialah dunia yang tak ada diproyeksikan ada; ketiadaan diadakan; bahkan yang paling tak terperi kemungkinannya ada.

Kemampuan jelajah imajinasi seorang penulis, yang niscaya berbanding lurus dengan cakrawala bacaan, pergaulan, dan kontemplasinya, akan begitu menentukan konstruksi imajinasi macam apa yang bisa dituliskan oleh seorang penulis. Di level jelajah imajinasi ini, Eko harus diacungi jempol. Para pengamat sastra yang skeptis dengan hanya menyebut “gaya bercerita” sebagai sesuatu yang baru, sungguh perlu membaca cerpen Eko ini.

Kedua, gaya cerita. Betul, tren yang sangat menggembirakan dalam percerpenan Indonesia kontemporer ialah menguatnya eksplorasi gaya bercerita. Pada derajat ini, klaim para pengamat sastra itu menjadi relevan.

Pakem struktur cerita yang terdiri dari alur, tokoh, konflik, dan setting, kerap didekonstruksi secara luas dan jauh. Fatwa mainstream kerap dijungkir-balikkan. Dan, berita bagusnya ialah ternyata sastra koran pun memberi ruang terhadap “cerpen berstruktur tak biasa” ini, termasuk cerpen Eko yang dimuat Kompas ini.

Generasi muda kini sangatlah beruntung ditolong oleh kemudahan akses informasi dan referensi. Berkat Google, misal, kita menjadi mudah sekali membaca karya-karya sastra dunia, sehingga lalu lahir keragaman dan keluasan perspektif, termasuk dalam konteks struktur cerita.

Saya kutipkan narasi Marquez di sini: “Saya tertawa menyaksikan serombongan anak muda berusia 80 tahunan mengeluhkan ragam penyakit yang mulai menyerangnya. Kelak mereka akan merasakan serangan yang lebih keras bila telah berumur 90-an seperti saya.

Ini narasi bercerita yang tak biasa; mengguncang perspektif mainstream kita selama ini tentang “usia muda versus tua”. Membaca karya sejenis ini niscaya akan menolong kekayaan cakrawala kita saat akan berkarya. Saya yakin Eko termasuk penulis yang memiliki keluasan cakrawala ini. Dan ini pulalah alasannya mengapa para penulis senior seringkali tampak gagap untuk berkarya lagi di hadapan lesatnya olah kreativitas para penulis muda. Biasalah, post power syndrome akan selalu berkelindan di mana-mana.

Kau senyum tipis: jadi logam mulia, atau, logam hina?

Aku mengangkat bahu.

Itu bukan soal.

Kita saling meletakkan pandangan di dalam perasaan masing-masing.

Ketiga, gaya bahasa. Setamsil dengan gaya bercerita, unsur gaya bahasa juga mendapatkan eksplorasi yang luas dan unik pada cerpen Eko ini. Ada gaya bahasa puitis, ada gaya bahasa analogi subjek dan objek, ada pula gaya dialog manusia dan benda, serta ada pula gaya memanusiakan benda dan membendakan manusia. Eksplorasi gaya bahasa ini dengan sendirinya menghadirkan nuansa estetik-literal yang tak biasa, unik, dan bahkan menyentak-nyentak. Kita akan bisa merasakan gejala ini sejak dari prolog sampai ending; dari narasi sampai dialog.

Sebelum kau bertanya, “Agama apa yang pantas bagi pohon-pohon?” hujan lebih dahulu berwarna tembaga.

Dendam silih dalam jam digital berwarna merah saga di dekat kondektur yang saling sulih dengan dingin.

 Dan lampu-lampu lalu lintas memberi tahu lagi, pernikahan kalian memang berbeda agama. Kemudian, berpisah. Zafin dibawa oleh ayahnya.

Sederet “kekuatan intrinsik” pada cerpen Eko ini, saya yakin, merupakan alasan utama kenapa cerpen ini diberikan ruang di Kompas. Media lain macam Horison, Koran Tempo, Suara Merdeka, dan Jawa Pos, saya kira akan murah hati pula pada cerpen sejenis.

Hanya saja, memang pilihan estetik Eko ini (dunia kedua, bukan dunia pertama) bukannya tanpa risiko. Pembaca awam akan limbung untuk sekadar mempertahankan bacaannya. Lelah, rumit, njelimet, sulit, merupakan sederet problem umum pembaca karya sastra karakter kedua ini. Tetapi tentu saja problem pembaca itu akan seketika rontok bila kita kembali kepada kredo awal: karya sastra untuk sastra.

Saat seorang penulis, sebutlah Eko, sudah menjatuhkan pilihan pada karakter “dunia surealis” (maafkan istilah ini) dan jalur estetik yang “bikin lelah, rumit, njelimet, sulit” sebagai strategi literernya, saya kira tiada hal lain yang lebih berharga baginya selain menekurinya sampai mati.

Sukses selalu, Mas Eko….

Note:

Esai ini saya presentasikan dalam Diskusi Sastra di Ruang Gong Gedung PKKH UGM, Yogyakarta, tanggal 27 Oktober 2015.

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!