Aku Mengutip Maka Aku Ada (Cara Mudah Berkhianat pada Ilmu Pengetahuan)

Aku Mengutip Maka Aku Ada (Cara Mudah Berkhianat pada Ilmu Pengetahuan)
Sumber gambar: tumblr.com

Mengutip sebuah istilah, quote, kredo, atau narasi merupakan pekerjaan yang sangat enteng secara teknis tetapi mewah secara ilmiah. Jadi, jika Anda ingin tampak megah dan mentereng bagai cendekiawan, dalam berucap atau menulis, cara instannya ialah cukup kutip sebuah quote. Orang akan terperangah. Wow. Tetapi, tentu hanya orang yang kurang asam garam literatur yang sanggup melakukannya atau terkesima padanya.

Jika kita benar-benar merupakan pembela ilmu pengetahuan, tentulah kita takkan tega seseronok itu. Menukil sebuah istilah kunci seorang pemikir, mencatutnya begitu saja tanpa memahami terlebih dahulu main idea-nya (state of mind-nya, atau, wellstanchaung-nya), lalu memasangkannya ke sebuah konteks yang dihasratinya dengan ringan hati agar tampak ilmiah tanpa sedikit pun merasa itu sebagai kelaliman ilmiah. Ini bukan semata perkara tanggung jawab ilmiah pada autentisitas pemikiran tokoh yang dikutipnya, tetapi sekaligus tentang rawannya produksi-produksi “sesat opini” yang meruah kemudian.

Siapa yang bertanggung jawab secara ilmiah bila narasi “Tuhan telah mati” Nietzsche dipahami secara pekat oleh publik sebagai tidak terkait dengan konteks kepongahan elite gereja secara sosio-politik-agama masa itu, lalu semata disebut ateisme akibat dikutip oleh seseorang tanpa melibatkan main idea yang memadai?

Siapa yang paling berdosa kepada ilmu pengetahuan bila ungkapan Stuart Hall tentang “menolak, menegosiasi, atau menerima” dicopot begitu saja dari konteks teoretiknya bahwa ketiga sikap itu merupakan varian reaksi manusia di hadapan hal baru?

Siapa yang paling khianat secara epistemologi bila gampangan menyebut “fusion of horizons” Gadamer yang notabene sangat filosofis dalam studi hermeneutika sebagai “dialektika”-nya Hegelian saja?

Siapa yang paling zalim secara metodologis bila kaidah al-‘adah al-muhakkamah Ushul Fiqh dinukil begitu ringannya sebagai penganaktirian teks suci Alqur’an dalam tafsir-tafsir masa kini sehingga sewajibnya ditampik?

Pada sudut sensitif beginilah seyogianya kita selalu mengedepankan hati nurani ketika hendak “bertindak ilmiah”. Bahwa ia bukan sekadar aktivitas menempelkan kutipan-kutipan yang hari ini kepalang tersedia tumpah ruah di Google, tetapi meliputi tanggung jawab moral dan keilmuan yang tidak sederhana. Jika Anda meneruskan kebiasaan murahan “aku mengutip maka aku ada” semacam ini demi memuaskan berahi kecendekiaan pada diri Anda, dapat didaku betapa Anda merupakan bagian dari “kaum sesat dan menyesatkan”. Sesatnya opini yang dirayakan seorang penulis atau pembicara jelas menyerpihkan dampak yang sangat masif kepada khalayak pembaca atau pendengarnya.

Tentu, saya setamsil saja dengan para penulis atau pembicara lainnya, yang niscaya tidak mungkin mampu menguasai semua disiplin ilmu. Juga bahwa ilmu pengetahuan akan selalu dinamis progresif sebagai khittah sebuah wacana. Poin saya bukan di situ. Ini sepenuhnya tentang pentingnya kejemawaan batin kaum cendekiawan untuk tidak bermain-main pada hal-hal yang tidak dikuasainya dengan baik, seperti kutipan, quote, istilah, atau narasi tokoh, hanya demi menggemukkan tabungan sorak-sorai dari pembaca atau pendengarnya. Ini menyangkut marwah yang sangat agung, bahwa kaum cerdik pandai, kata Ali Syari’ati, adalah “resi” yang turut bertanggung jawab terhadap social change. Ia adalah agennya, yang bisa memberikan warna, dan tentu saja sangatlah khianat bila warna negasi yang ditaburkan.

Saya tunjukkan satu contoh betapa fatalnya situasi ini.

Nietzsche sangat terkenal dengan istilah kunci nihilisme. Sederhananya, nihilisme adalah negasi—peniadaan, penyingkiran. Meniadakan dan menyingkirkan segala tata nilai apa pun, termasuk pandangan tradisi terhadap agama. Istilah nihilisme bila dihentikan hanya sampai di sini, atau dicomot begitu saja secara terminologi, sekadar untuk gagah-gagahan, akan menjungkalkan opini kita bahwa Nietzsche adalah ahistoris.

Benarkah Nietzsche ahistoris?

Tentu tidak. Episteme nihilisme Nietzsche sangat terkait erat dengan apa yang diidealkannya sebagai “Manusia Super” (ubermensch). Bahwa hanya melalui cara nihilisasi, lah, manusia bisa membebaskan diri dari segala belenggu nilai yang melingkupinya sejak lahir dan tumbuh; bahwa hanya melalui nihilisasi, lah, manusia bisa membersihkan diri dari segala intervensi dogma yang beku dan membekap; lalu hanya melalui nihilasi, lah, manusia bisa mengisi ulang integritasnya dengan pencapaian-pencapaian baru yang progresif. Melalui nihilisme, pada pencapaian akhirnya, manusia bisa meraih pangkat “Manusia  Super”.

Nihilisme pun sama sekali tidak lahir dari konteks historis yang kosong. Ia mengelindani sebuah bentang sejarah. Dominasi elite gereja yang menjadikan agama sebagai sarana mengeruk keuntungan politis-ekonomis masa itu menjadi pemicu utamanya. Nietzsche sangat muak pada panggung politisasi gereja itu. Ia lalu memberontakinya, melalui nihilisme, yang dikenal luas dalam kredo “Tuhan telah mati.

Apa jadinya bila sebentar-sebentar Anda menukil nihilisme tanpa memahami konteks panjang tersebut? Bukankah Anda akan dengan ringan hati menyebut kaum jomblo sebagai bangsa nihilis; orang yang memilih golput sebagai sikap politik diklaim kaum nihilis; orang yang berzuhud di tengah hutan dinista nihilis; orang yang menolak penegakan legal-formal khilafah dituding terinfeksi nihilisme?

Bukankah klaim-klaim instan demikian tidaklah adil sama sekali pada autentisitas pemikirnya, Nietzsche, sekaligus serampangan kepada pihak-pihak yang ditempelinya? Bukankah, lebih parah lagi, sangat buruk dampaknya bagi opini dan episteme bila nihilisme dipostulasikan begitu saja sebagai ateisme?

Ironis, memanglah sangat ironis menyaksikan jubelan lalu lintas “cendekiawan”, utamanya di sosial media, yang tidak jelas sanad keilmuannya, dengan bertepuk dada merayakan kutipan-kutipan sebagai alat justifikasi. Alat tashih meraup wow. Padahal, tepat di detik itu pula, ia sesungguhnya sedang menyiarkan kepongahan sekaligus kedangkalan.

Na’uzdubillah min dzalik.

Jogja, 23 September 2016

Edi AH Iyubenu

Comments

  1. M Ainur Rofiqi Reply

    Tulisan Anda selalu menarik utk dibaca

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!