Kagetkah Anda bila saya menyatakan bahwa kualitas otak Denny JA dan Ade Armando lebih terbelakang dibanding kualitas nalar suku-suku primitif yang pernah diteliti Mircea Eliade?
Nama pertama menyatakan begini: “Selama ini diyakini hari yang sah berhaji hanya lima hari efektif, dari tanggal 9 hingga 13 Dzulhijjah saja. Harus dipikirkan jumlah hari yang sah bertambah juga tak hanya lima hari, tapi berbulan-bulan. Dari lima hari menjadi misalnya 60 hari, dan sebagainya. Ini akan menjadi solusi yang sangat ampuh untuk mengurangi konsentrasi massa di satu titik dan di satu waktu. Niscaya ibadah haji akan dirasakan lebih nyaman dan lebih aman bagi jamaah.” (Dikutip dari www.inspirasi.co, 25 September 2015).
Nama kedua melontarkan ide begini: “Ketika dulu Nabi Muhammad meminta umatnya untuk melaksanakan ibadah haji, itu disampaikan di masa jumlah umat Islam masih sedikit. Dia mungkin tidak pernah membayangkan bahwa jumlah umat Islam di dunia akan mencapai dua miliar. Pertanyaannya: kalau sekarang, kondisi sudah berubah, masihkah Nabi Muhammad akan meminta umat Islam berbondong-bondong berhaji dalam waktu yang sangat sempit itu?
Kalau Nabi Muhammad dulu mungkin tidak memiliki visi tentang jumlah umat Islam yang mencapai dua miliar, hal yang sama tidak mungkin terjadi pada Allah. Karena Allah Maha Mengetahui, Ia tentu tahu bahwa jumlah umat Islam bisa mencapai dua miliar. Karena itu pula, Allah tahu bahwa pasti ada persoalan kepadatan jamaah haji akibat Dia mewajibkan seluruh umat Islam berhaji.
Dalam hal ini, jawaban yang rasanya paling masuk akal adalah: mungkin kewajiban haji itu harus dipandang sebagai kewajiban yang kontekstual sesuai zaman Nabi. Dulu mungkin memang penting bahwa umat Islam yang jumlahnya masih sedikit berkumpul dan menguatkan barisan. Sekarang, tampaknya tidak masuk akal bila semua umat Islam harus menjalankan ibadat haji. Yang terjadi pasti pemaksaan yang akan terus memakan korban.” (Dikutip dari www.madinaonline.id, 25 September 2015).
Apa jawaban Anda atas pertanyaan awal saya setelah membaca dua pemikiran yang merespons wafatnya ratusan jamaah haji dalam insiden Mina 2015 ini?
Kita tahu, Denny dan Ade beragama Islam. Dan niscaya semua kita tahu, termasuk keduanya, bahwa melaksanakan ibadah haji merupakan rukun kelima dari rangkaian rukun Islam yang sifatnya wajib bagi yang mampu.
Sebagai sebuah rukun, sudah pasti ia bersifat fardhu ‘ain. Kefardhuan melaksanakan haji ini tertera secara tegas (qath’i) dalam surat Ali Imran ayat 97. Ayat tersebut dipungkasi dengan kalimat: “…dan barang siapa yang kufur (pada kewajiban menunaikan ibadah haji itu) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya atas alam semesta ini.”
Saya tak pernah menemukan satu literatur pun dalam aliran Islam apa pun yang menyangkal kewajiban mutlak ibadah haji ini bagi yang mampu melaksanakan secara fisik dan materi. Selain madzhab Armanto ini.
Lantas, soal kewajiban haji yang ditetapkan waktunya (dari tanggal 9 sampai 13 Dzulhijjah) juga terang dalam Alqur’an dan diperkuat dengan hadits Nabi (silakan searching). “Haji itu telah ditetapkan waktunya….” Begitu intinya. Saya tak pernah menemukan referensi apa pun yang mengulak-ulik ketentuan mutlak ini selain pada madzhab Denny.
Dari kedua sudut ini, hukum melaksanakan ibadah haji dalam waktu-waktu yang telah ditentukan sepenuhnya telah clear and distinct.
Haji Kontekstual?
Memang, dalam metodologi studi Islam, dikenal istilah “kontekstual”; misal istilah tafsir kontekstual, kontekstualisasi hukum Islam, dan sebagainya, yang semuanya mengacu pada pentingnya hukum Islam bersistensis, berdialog, bertransformasi dengan realitas hidup umat Islam sesuai zaman dan tempatnya. Shalih likulli zaman wa makan sebagai aktualisasi watak rahmatan lil ‘alamin.
Saya pribadi, dengan bekal teoretik-akademik Islamic studies yang pendek, setuju bahwa relasi teks normatif dan realitas historis haruslah dirawat. Agar umat Islam tak hanya hidup dalam belenggu romantika ortodoksi lama akibat abai pada dinamika zaman; sembari di sebelahnya mengusung semangat progresif agar realitas hidup umat jangan sampai tidak mendapatkan payung hukum Islamnya.
Tetapi, di kalangan akademisi Islamic studies sendiri, terdapat common sense universal bahwa tak semua hukum Islam sahih dikontekstualisasikan. Ada yang bisa, ada yang tidak. Ada peta metodologis yang kokoh secara saintifik; peta yang dalam narasi Rene Descartes sebagai simbahe Rasionalisme Barat disebut “clear and distinct”. Ini stand-in-nya; titik pijaknya. Yakni, mahdhah dan ghairu mahdhah; qath’i dan dzanny; syariat dan mu’amalat.
Akademisi yang paling vulgar sekalipun, yang disebut-sebut paling kontroversial dalam khazanah Islamic studies kontemporer, Muhammad Syahrur, sangat mematuhi peta metodologis-interpretatif ini sebagai hal yang harus dirawat dan dihormati. Teori Syahrur tentang batas atas (had al-‘ulya) dan batas bawah (had al-sufla) menjadi landasan metodologis yang mengakomodir peta mahdhah dan ghairu mahdhah; peta mutlak dan relatif; batas syariat yang mutlak dan dinamika mu’amalat yang kontekstual.
Tidak perlulah di sini saya mengutip pandangan Imam Syafi’i dalam tafsirnya tentang hukum melaksanakan ibadah haji dan ketentuan waktunya, ataupun pandangan Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah, juga Wahbah az-Zhuhaili dalam Fiqh Islam wa Adillatuhu, Ibnu Katsir dalam Lubab al-Tafsir, ataupun Hakma dalam tafsir al-Azhar. Jangankan yang “manusia biasa” seperti para ulama yang kita hormati itu, Rasulullah Saw. saja ditampik otoritas kebenaran syariatnya oleh pernyataan Denny dan Armando; bahkan Allah saja “dimungkin-mungkinkan” ditakar sedemikian rupa oleh nalar Armando. Tentu, hal demikian terjadi akibat ketidakdisiplinan mereka pada spirit rasionalismenya sendiri: clear and distinct.
Maka menerapkan parameter kontekstual dalam hal-hal yang sifatnya mahdhah, seperti kemutlakan rukun haji, setamsil dengan mengingkari landasan rasionalisme sendiri yang selalu hanya menerima rukun clear and distinct tadi. Untuk mengingatkan Denny dan Armando bahwa mereka tak ubahnya anak-anak pemuja rasionalisme Barat tetapi telah berdurhaka pada ruh rasionalisme itu sendiri, saya kutipkan pandangan simbahe rasionalisme-modernisme, Descartes, di sini: “…tidak memasukkan apa pun dalam pandangan saya kecuali apa yang tampil amat jelas dan gamblang di dalam nalar saya, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk meragukannya.”
Mengapa kedua orang ini jadi mementaskan drama standar ganda untuk mengulik peta tegas mahdhah dan ghairu mahdhah dalam metodologi-interpretasi teks Islam, dengan cara mengingkari ruh rasionalismenya sendiri?
Dengan terpaksa, sampai di sini, saya harus menyatakan bahwa keduanya secara metodologis telah gagal bertindak saintifik-akademik itu sendiri. Di kalangan researchers community yang disebut Ian Barbour sebagai pemangku otoritas sebuah wacana/ilmu, sikap ambigu sejenis itu tertolak sepenuhnya.
Pendekatan Humanisme-Sekuler
Salah satu gugatan serius saya terhadap wacana keislaman kontemporer bukanlah urusan liberal versus tradisional, melainkan kecenderungan kita meninggalkan tradisi kecendekiaan Islam yang telah diletakkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat hingga tabi’it tabiin dalam membaca teks dan sejarah Islam di masa kini. Kita alpa bahwa kemajuan Barat kini bertolak pada tingginya spirit bangsa Barat belajar pada tradisi keilmuan Islam yang berpuncak di masa Abbasiyah.
Lalu, betapa ironisnya bila kita yang kaum muslim memilih berkiblat kepada Barat secara mutlak dalam membaca teks-teks Islam secara kontekstual kekinian padahal kita tahu rasionalisme Barat tidaklah menyerap spirit keilmuan tradisi Islam. Rasionalisme Barat sudah pasti berbeda spiritnya dengan Rasionalisme Islam.
Betul, saya tidak dalam posisi menegasi madzhab-madzhab Barat dengan penuh kebencian sembari merayakan post-power-syndrome kejayaan tradisi Islam dengan berlinang air mata. Saya juga mempelajari tradisi keilmuan Yunani, modernisme, dan postmodernisme. Di sini, saya hanya ingin menegaskan bahwa pendekatan rasionalisme sekuler Barat tidaklah relevan untuk dijadikan landasan rasionalisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam. Islam punya tradisi rasionalnya sendiri; Barat punya rasionalismenya sendiri.
Ini serupa dengan Anda membaca tradisi Barzanjian di kalangan muslim rural dengan kacamata kritis Frankfurt; menyimpulkan spirit shalawatan menurut teori kritis Adorno, Horkheimer, ataupun Habermas; jelas hanya akan menimbulkan anomali-ketidaksesuaian-ketidakmemadaian.
Demikian pula mengkritisi banyaknya jamaah haji yang meninggal dalam insiden Mina dengan menyalahkan landasan syariat kefardhuannya, posisi mahdhah haji sebagai salah satu rukun Islam, atas dasar pendekatan humanisme sekuler Barat, sungguhlah tidak apple to apple. Kritisi ini, yang mengusung spirit kontekstual, sebagaimana saya paparkan di atas, sudah cacat sejak dari level pertama kesahihan saintifik: clear and distinct.
Tetapi saya pun tidak se-shaf dengan kawan-kawan muslim yang menyerang Denny dan Armando dengan menyuruh mereka mengurus masalah korban dalam sebuah konser musik, misal, jika sudut pandangnya adalah humanisme. Saya kira kritik ini dalam konteks pemikiran Denny dan Armando sama tidak apple to apple-nya dengan level fardhu ‘ain haji. Counter sejenis itu terlalu murahan sebab membuahkan efek analogi merendahkan marwah ibadah haji di hadapan konser musik.
Logical Fallacy dan Kekacauan Metodologis
Akan lebih baik buat kita semua, termasuk Denny dan Armando, untuk concern merasionalisasi secara kontekstual ibadah haji dalam ranah manajemen-praktikalnya; bukan syariatnya. Antara syariat dan praktik manajerial jelas tidak ilmiah untuk dicampuradukkan bagai gado-gado Bu Ramelan. Mencampuradukkan keduanya, seperti digagas Denny dan Armando, mencerminkan kekacauan metodologis dalam berpikir ilmiah.
Mengapa begitu?
Anda bayangkan saja. Ibadah haji jelas-jelas perintah syariat yang mutlak. Tersebab Anda muslim, tanpa syarat Anda harus menerimanya sebagai kebenaran. Ini final. Jika masih dipertanyakan, diragukan, Anda pastilah sedang menggoda Allah dan umat Islam layaknya seorang partikelir yang butuh perhatian dan kasih sayang.
Saya akan membantu Anda, Denny dan Armando, untuk memahami maksud merawat metodologi berpikir itu. Dengan cara yang sungguh sederhana.
Ini aslinya secara analogi sama persis dengan Anda menyatakan sangat mencintai seorang perempuan tetapi Anda melakukan perbuatan yang melukai hatinya. Buat apa pernyataan cinta Anda?
Buat apa Anda bersyahadat bila Anda meragukan perintah mahdhah rukun Islam lainnya, termasuk ibadah haji, sebagai kebenaran syariat?
Bahwa manajemen pelaksanaan syariat haji harus dievaluasi, disempurnakan dari waktu ke waktu, dikontekstualisasikan sesuai perkembangan zaman dan pertumbuhan populasi jamaah haji, demi menjadikan para jamaah lebih nyaman dan aman (dan ini keinginan semua kita, bukan hanya Denny dan Armando), itu tak ada hubungannya dengan kebenaran syariat. Maka menggagas rekonstruksi kebenaran syariat akibat adanya problem teknis-managerialnya sungguhlah kekacauan metodologis yang amat menyedihkan. Jangankan kaum cendekiawan, manusia awam pun akan sedih mendengarnya.
Sungguh sangat berharga bagi kita semua untuk tidak membiarkan logical fallacy merusak nalar kita; serupa kebodohan menebang pohon mangga yang ranum buah-buahnya hanya lantaran anak Anda jatuh saat memanjatnya.
Inilah maksud saya untuk komit berpikir clear and distinct (dalam narasi rasionalisme Cartesian); syariat satu hal dan penyelenggaraan ibadah haji adalah satu hal lainnya. Item kedua tidak otoritatif sama sekali untuk diizinkan mengusik kebenaran mutlak item pertama. Logical fallacy macam apakah yang Anda biakkan saat Anda meminta istri Anda tampil lebih cantik tetapi Anda mengusulkan kepadanya bahwa cara rasionalnya adalah dengan mengganti orangnya?
Jika ilustrasi-ilustrasi pembanding tersebut masih saja gagal membuat Anda mampu tidak gagap dalam memahami peta clear and distinct, antara peta syariat haji dan praktik pengelolaannya, berhenti berpikir niscaya lebih afdhal dilakukan ketimbang ditertawakan oleh anak-cucu kutunya kutu.
Mircea Eliade, salah satu sosiolog besar yang concern pada riset “Yang Sakral dan Yang Profan” dalam masyarakat arkais (primitif), menyatakan bahwa seprimitifnya sebuah suku pedalaman, mereka berusaha untuk selalu bisa hidup dalam naungan Yang Sakral. Keteguhan mereka kepada Yang Sakral (kendati diejawantahkan dalam ritual-ritual penumbalan manusia ala suku Maya sekalipun, misal) merepresentasikan kemampuan mereka untuk menalar secara clear and distinct peta Yang Sakral di satu sisi dan Yang Profan di sisi lain.
Maka sungguhlah menyedihkan bila ada manusia yang mengaku muslim, pemuja rasionalisme Barat, yang mengandaikan dirinya Cartesian sehingga seyogianya paham betul metode “clear and distinct” sebagai syarat pertama rasionalisme, ternyata kalah telak dibanding masyarakat primitif untuk sekadar tangkas membedakan syariat haji (Yang Sakral) dan manajemen pelaksanaan haji (Yang Profan).
Apakah ini isyarat semesta bahwa manusia modernis-rasionalis sudah terjungkal sedemikian jauh terbelakangnya dibanding nalar sederhana kaum arkais yang mereka sebut primitif?
Maaf.
Jogja, 26 September 2015
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019
Sulkhan Zuhdi
baca http://islamlib.com/kajian/masdar-f-masudi-waktu-pelaksanaan-haji-perlu-ditinjau-ulang/
EDI AH IYUBENU
Ya saya telah membaca post lama itu. Suwun